Ketika kita tak lagi saling menyapa.
Ketika kita tak lagi saling mengenal. Ketika kita tak lagi bersama. Saat itulah
kau baru mencariku. Setelah jarak memisahkan. Setelah keadaan menjadi kacau.
Setelah hubungan kita menjadi rumit. Dan kini kau menginginkanku? Kemana saja
kau selama ini?
Dulu sewaktu kita mempunyai kesempatan
untuk menghabiskan waktu bersama, tak sekalipun kau hiraukan aku. Aku hanya kau
jadikan sebuah ‘pajangan’, yang selalu ada hanya untuk sekedar menyatakan pada
orang-orang bahwa kau tak sedang sendiri.
Kehadiranku kau anggap penting namun tak
begitu berarti. Karena sesungguhnya kau tak benar-benar membutuhkanku. Jika
sedang berada diantara teman-temanmu, aku membisu dan hanya memperhatikan siapa
saja yang tengah mengambil alih pembicaraan. Sesekali tersenyum seolah aku
menyukai mereka yang bercuap-cuap ria.
Kau juga enggan repot-repot
memperdulikan perasaanku. Fokusmu hanya pada mereka, teman-teman kebanggaanmu.
Sedangkan aku? Tak pernah sekalipun kau membanggakan aku di depan
teman-temanmu.
Dan bodohnya aku, aku tak pernah
meluncurkan protes-protes atas apa yang aku rasakan. Aku terlalu takut, takut
jika aku mengeluh kau akan langsung meninggalkanku. Saking tahu dirinya aku
bahwa aku tak sepenuhnya berarti untukmu. Tak jarang aku meng-kamuflasekan
perasaan ‘tidak dianggap’ tersebut pada diriku sendiri. Aku berusaha menghibur
diri dengan menganggap seolah-olah kau memang tak pandai menyampaikan rasa
sayangmu padaku melalui ucapan bahkan perlakuan.
Tapi, sepertinya kamuflase yang kucipta
tak selamanya mampu mendominasi perasaan ini dari rasa sakit bercampur kecewa.
Ketika aku tiba di titik lelah, aku memikirkan bagaimana bila aku mengakhiri
segala siksaan batin yang kau beri. Bagaimana mungkin batinku tidak tersiksa?
Dalam waktu yang terbilang cukup lama sejak kita bersama, tak sekalipun kau
memperlakukan aku seperti pria lain memperlakukan gadisnya.
Meski aku mencoba berlapang dada dan
menerima ketidak-pekaan dan ketidak-pedulian dirimu, tak bisa dipungkiri hati
kecilku meneriakkan kejenuhan yang telah lama terpendam. Jenuh akan kesedihanku.
Jenuh akan kesabaranku.
Hingga akhirnya, setelah memikirkannya
cukup lama, aku memilih melepasmu. Tak ada gunanya terus bersama dengan orang
yang hanya akan menyakitimu. Bukan disakiti secara langsung ataupun fisik, tapi
secara tak langsung aku merasa kecewa. Kecewa di dalam hati kecilku.
Mungkin ini keputusan yang tepat.
Mungkin dengan perpisahan ini, aku akan lebih menerima ketidak-pedulianmu
padaku. Mungkin dengan jalan ini, kau bisa menemukan seseorang yang benar-benar
kau sayangi dan kau butuhkan. Semoga takkan ada penyesalan. Dan walau kau
menyadari kesalahan-kesalahanmu terdahulu, itu tak akan mengubah apapun. Kita tetap
tak bisa kembali bersama. Maaf dan terimakasih untuk segalanya.
Karya : Lidya Christin Silalahi
Sumber : http://martabakmietelor.blogspot.com/2013/09/tak-seperti-dulu.html
Karya : Lidya Christin Silalahi
Sumber : http://martabakmietelor.blogspot.com/2013/09/tak-seperti-dulu.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar