Jumat, 25 Oktober 2013

Friendship and Love (Truth or Dare)


“Sekarang, giliran lo nih.” Kata Vanya kepada Vino.
            “Truth or dare?” Sambung Vanya.
            “Gue pilih dare, deh.” Tukas Vino.
            Avanya Riandini dan Alvino Diraga sedang memainkan permainan kesukaan mereka sejak kecil. Truth or Dare. Mereka selalu melakukan permainan ini kala mereka kehabisan bahan pembicaraan. Mereka telah bersahabat sejak duduk di bangku taman kanak-kanak. Dan rumah mereka juga tidak berjauhan karena berada dalam satu kawasan perumahan.
            Kini mereka telah duduk di bangku SMA. Keduanya sama-sama kelas 2 SMA tahun ini. Karena mereka baru saja naik kelas dan sekarang sedang menikmati liburan panjang yang membosankan, karena kedua orangtua mereka sedang sibuk dan tidak berniat untuk mengajak keduanya pergi berlibur. Jadilah mereka memutuskan untuk menghabiskan waktu berdua saja.
            Sekarang mereka sedang berada di taman yang terletak tidak jauh dari kawasan perumahan mereka. Mereka memilih duduk di rumput-rumput hijau yang terlihat segar dibanding duduk di bangku yang membuat pantat mereka pegal. Dan mereka tengah memainkan permainan Truth or Dare.
            “Kalo gitu.....” Vanya memandang sekeliling sebentar. Sedang memikirkan tantangan apa yang harus diberikan pada sahabatnya ini. Dan, aha! Dia mendapatkan ide gila ketika melihat dua orang wanita seumuran mereka sedang duduk di bangku taman.
            “Lo datengin tuh cewek dua.” Vanya menunjuk wanita-wanita imut yang sedang asyik cekikikan dibangku taman tak jauh dari tempat mereka duduk. 
            “Hah? Ngapain?” Vino bingung, apa sebenarnya yang ada dipikiran Vanya.
            “Hihihi... Ya, lo minta nomor hape salah satu dari mereka. Kalo lo berhasil, gue akuin keberanian lo!” Kata Vanya masih sambil tertawa geli. Ia tahu, Vino tidak suka melakukan hal-hal yang sering dilakukan cowok-cowok ganjen yang suka menggoda cewek-cewek imut nan manis. Tapi, itu tantangan darinya. Siapa suruh Vino memilih dare, kata Vanya dalam hati. Mereka memang selalu seperti itu, selalu menggunakan ide-ide gila untuk menantang satu sama lain saat memilih dare. Dan akan menanyakan pertanyaan-pertanyaan konyol dan bodoh jika memilih truth.
            “Ah! Lo kebiasaan nih, nggak ada yang lain apa?” Vino memasang raut memohon. Ia sama sekali tak suka mendekati wanita yang tak dikenalnya apalagi harus meminta nomor ponselnya.
            “Nggak. Lakuin, atau lo gue anggep pecundang!” Tukas Vanya. Ia juga penasaran, apakah Vino akan mendapatkan nomor wanita itu atau malah mendapat makian karena tiba-tiba meminta nomor orang yang sama sekali tak dikenal.
            “Oke, oke. Awas lo, ya. Ntar gue bales. Nyesel lo, nyuruh gue minta nomor tuh cewek.” Vino dengan jengkel berdiri dari tempatnya duduk sejak sejam yang lalu. Ia melangkahkan kaki menuju bangku yang diduduki kedua wanita imut yang ditunjuk Vanya tadi.
            Vanya menahan senyum di tempatnya duduk, sambil melihat langkah kaki Vino yang dengan gontai menuju ke arah “sang mangsa”. Ia ingin tahu, bagaimana Vino menyelesaikan tantangannya. Dan Vino telah sampai di hadapan kedua target. Vanya melihat Vino menyapa mereka sambil menebarkan senyumnya yang paling mempesona. Vanya mendesis jengkel. Benar-benar sok tampan pria satu itu. Padahal, Vanya memang mengakui ketampanan Vino yang melebihi pria manapun yang ada di sekolahnya. Ia hanya tak suka melihat Vino menebar pesona kepada wanita lain. Bukan karena ia menyukai Vino. Tapi ia merasa bahwa Vino adalah miliknya. Karena selama ini Vino lah sahabat baiknya. Sejak dulu. Sejak mereka masih kecil. Dan akan terus begitu. Tak ada yang boleh mengambil Vino darinya. Dan Vino hanya boleh berteman dengan satu wanita, yaitu dirinya sendiri.
* * *
            Vino mendengus kesal ketika hampir sampai di tempat tujuannya. Ia melangkah perlahan sambil berusaha merubah raut wajahnya yang terlihat jengkel menjadi semanis mungkin. Dan saat tiba dihadapan kedua gadis yang dimaksud Vanya, ia berdehem pelan untuk mendapatkan perhatian.
            “Ehm...” Vino seolah membersihkan kerongkongannya, yang sebenarnya tak terganggu oleh apapun.
            Kedua wanita yang tadinya sedang seru bercerita mendadak berhenti berbicara. Mereka menoleh ke arah pria-tak-dikenal-dan-ternyata-sangat-TAMPAN yang berdehem tadi. Salah satunya yang berambut panjang dan dikuncir satu ke belakang dengan wajah sangat cantik dan begitu imut, tersenyum ke arah Vino, dan diam-diam meremas tangan teman di sebelahnya.
            Wanita yang genggaman tangannya diremas oleh sahabat disampingnya hanya tersenyum ringan ke arah Vino. Tahu bahwa Vino telah mendapatkan perhatian sepenuhnya dari wanita di sampingnya ini.
            “Gue ganggu kalian ga?” Tanya Vino dengan senyumnya yang menawan, memulai aksinya.
            “Eh.. Ng-nggak kok. Kenapa?” Wanita yang berambut panjang itu menjawab lebih dulu dengan senyum yang mengembang di wajahnya.
            “Dari tadi gue merhatiin kalian berdua, dan gue tertarik sama lo. Kayaknya lo orang yang menyenangkan. Boleh gue tahu nama lo?” Masih dengan tersenyum, Vino melontarkan kalimat andalan Andre, teman sekelasnya yang terkenal playboy. Andre sering sekali pamer di kelasnya ketika dia mendapatkan pacar baru dengan kalimat andalannya itu. Pertanyaan itu dengan mudahnya dia ucapkan, seakan sudah sering mengucapkannya. Dia sengaja langsung memilih targetnya, karena kelihatannya wanita itu begitu antusias dengan kehadirannya.
            “Oh, gitu. Boleh kok. Gue Tasya.” Tasya segera berdiri dan mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan.
            Oh, oh. Wanita ini begitu agresif, pikir Vino.
            Vino menjabat tangan Tasya, “Gue Vino. Kalo temen lo?” Tanyanya, sengaja agar Tasya melepaskan jabatan tangannya yang begitu erat.
            Tasya tersenyum masam ketika Vino melepaskan tangannya, dan terkekeh ketika menoleh ke arah sahabatnya yang menatapnya dengan tatapan “Lo lupa, ada gue disini?”. “Eh, iya. Ini Sandra, temen gue.” Tasya menarik tangan Sandra untuk ikut berdiri.
            “Vino.”
“Sandra.”
Vino dan Sandra berjabat tangan.
            “Eh, gue ga bisa lama-lama nih. Ditungguin sepupu gue, disana.” Sambung Vino sambil menunjuk ke arah Vanya. “Gimana kalo kita tukeran nomor handphone aja, biar bisa ketemuan lain kali?” Vino sudah tidak sabar ingin menyelesaikan tantangan ini.
            “Boleh deh.” Tasya dengan sigap mengeluarkan ponsel yang berada di saku jaketnya.
            Setelah selesai bertukar nomor. Vino pamit ingin kembali ke tempatnya semula, dengan alasan sepupunya akan merajuk jika ditinggal terlalu lama.
            “Kalo gitu gue duluan ya, sampai ketemu lagi.” Vino tersenyum sambil melambaikan tangannya sejenak, lalu berbalik menuju tempat Vanya berada.
            “Iya.. Dadaaah...” Tasya melambai-lambai dengan girang.
            Sandra hanya menggeleng-geleng melihat kelakuan temannya yang satu ini. Memang begitulah tingkah Tasya bila berkenalan dengan pria tampan selama mereka berteman. Tasya memiliki wajah yang manis sehingga dengan mudah menarik perhatian para lelaki dan minat mereka untuk berkenalan dengan Tasya. Termasuk Vino, pikir Sandra.
            “Dia cakep banget ya, San.” Kata Tasya masih dengan senyum mengembang lebar di wajahnya.
            “Iya. Dia orang ke 1024 yang lo bilang gitu.” Sahut Sandra cuek.
            “Yeee... Lo mah selalu gitu. Nggak bisa ikut seneng ngeliat temennya seneng.”
            “Terserah lo, deh.” Sandra tak ingin berdebat. Ia berusaha mencari topik pembicaraan lain, agar temannya ini melupakan Vino sejenak.
            “Eh, terus gimana sama rencana liburan lo ke Lombok?”
            “Ah, iya. Gue sampe lupa, tadi kita lagi bahas itu, ya? Ya gitu deh, gue pengennya bareng sama nyokab-bokab. Jadi mesti nunggu beberapa hari lagi.” Tasya kembali melanjutkan ceritanya yang tadi terpotong karena deheman seorang pria tampan. Diam-diam Sandra merasa lega karena Tasya tak lagi membahas Vino. Karena bila sudah membahas seorang pria, tak akan pernah ada habisnya bagi Tasya.
* * *
            Vanya tersenyum sinis ketika melihat Vino kembali duduk ditempatnya semula dengan senyum penuh kemenangan. Sial! Vanya mengumpat dalam hati, tidak biasanya Vino menyanggupi tantangan semacam tadi, dan yang menjadi kejutan adalah dia berhasil!
            “Gimana? Puas lo?” Tanya Vino dengan senyum mengejek.
            “Iya deh iya. Lo berani. Lo hebat.” Vanya dengan terpaksa mengakui keberanian Vino.
            “Tuh cewek manis banget, sih. Gampang diajak kenalan juga. Hahaha.”
            “Ah, lo sok kecakepan banget tadi. Enek gue ngeliatnya.”
            “Emang gue cakep.”
            “Ckck kadar ke-pedean lo meningkat drastis, bung.” Vanya menggeleng-geleng tak percaya.
            “Biarin. Kapan-kapan, gue mau ajak tuh cewek jalan, ah.” Vino mengeluarkan ponselnya dari saku celananya. Menekan-nekan layar handphone nya dengan lagak sok serius.
            Vanya mendelik ke arah Vino. Apa maksudnya? Apa Vino benar-benar akan mendekati wanita tadi? Sejak kapan dia mulai tertarik mendekati seorang wanita yang baru dikenalnya?
            Vino yang sadar di tatap begitu tajam dengan jengkel oleh si pemilik mata, mendongak dan bertanya, “Apa?”
            “Lo pengen kencan sama tuh cewek?” Vanya menoleh ke tempat dua wanita genit tadi duduk. Rupanya mereka telah pergi.
            “Iya, kan tadi lo yang nyuruh mintain nomornya. Sayang kan kalo dianggurin.” Vino memainkan alisnya dengan menaik-turunkan alis tebalnya itu. Lalu kembali menunduk dan sibuk dengan ponselnya.
            “Sejak kapan lo suka ngajakin cewek jalan?” Alis Vanya menyatu menandakan keheranannya.
            “Ya, sejak lo tantangin gue tadi.” Jawab Vino tanpa mengangkat kepalanya. Dia begitu sibuk berkutat dengan ponselnya. Tampaknya dia sedang berkirim-kirim pesan dengan seseorang.
            “Lo ngapain sih? Sms-an? Sama cewek tadi?” Tanya Vanya penasaran.
            “Tasya. Namanya Tasya.” Vino masih sibuk mengetik-ngetik balasan pesannya.
            Vanya merasa kesal diabaikan begitu. Dan ia pun mulai menyesali tantangan yang diberikannya tadi. Kalau saja ia tidak menantang Vino meminta nomor gadis itu, ia tak akan kehilangan perhatian Vino seperti sekarang ini.
            Tiba-tiba Vanya berdiri. Membersihkan bagian belakang celana jeans pendek yang dikenakannya dari rumput-rumput kering yang menempel disana.
            “Gue pulang, ah. Bete!” Vanya melirik sebentar ke arah Vino yang masih tak menyadari dirinya yang sudah bersiap akan pergi. Dia mendengus kesal. Lalu benar-benar pergi.
            Vino mengangkat kepalanya, melihat kepergian Vanya. Lalu tertawa geli sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Kemudian kembali asyik dengan ponselnya.
* * *
            Sejak kejadian di taman kompleks kemarin, Vanya sulit sekali menghubungi Vino untuk mengajaknya bermain bersama. Jika Vanya menghubungi ponsel Vino, yang terdengar hanyalah nada panggilan sibuk atau nada pemberitahuan bahwa ponselnya sedang tidak aktif. Pesan-pesan yang dikirimnya pun jarang dibalas.
Dan hari ini Vanya benar-benar bosan berada di rumahnya. Vanya mengirim pesan pada Vino, isinya Vanya ingin mengajak Vino bermain basket di rumah Vino. Vino memiliki lapangan pribadi yang cukup luas di samping rumahnya, lengkap dengan ring basket di ujung kedua sisinya. Vino dan Vanya sering bermain basket di sana jika Vanya sedang main ke sana.
            Tapi balasan pesan singkat yang diterima Vanya begitu membuatnya bertambah kesal.       Sorry, Van. Gue ada janji nonton bareng sama Tasya. Lain kali aja, ya J
            “Ah! Sialan tuh cewek!!” Vanya melemparkan ponselnya ke kasur dengan kasar, hingga terjatuh ke lantai.
Untung saja lantai kamarnya dilengkapi dengan karpet yang cukup tebal sehingga menyelamatkan nasib ponsel itu, karena jika tidak, ponsel malang itu akan hancur dengan mudahnya. Ia menggerutu dalam hati. Ia tak bisa terima jika alasan Vino selama ini tak bisa dihubungi karena wanita ganjen itu.
            Vanya berjalan ke arah meja yang terletak di sudut kamarnya, ia menghidupkan Speaker Box Music nya yang terletak di atas meja tersebut dan telah di pasangkan kartu memory MicroSD yang berisi lagu-lagu favoritnya.
            Vanya memutar lagu Crazy-nya Simple Plan dengan volume tertinggi yang mampu memekakkan telinga siapapun yang mendengarnya, terkecuali Avanya Riandini. Ia memang suka begitu jika sedang merasa marah ataupun kesal. Baginya suara-suara yang mencapai gelombang ultrasonik itu mampu mewakili amarahnya yang meledak-ledak.
            Vanya memutuskan untuk tidur siang saja, karena tak ada lagi yang bisa ia kerjakan. Tak berapa lama, ia pun terlelap diiringi kebisingan yang diciptakan Bon Jovi dengan lagunya yang bertajuk It’s My Life melalui Speaker Box Music milik Vanya. Dan Vanya tentu tak mendengarkan panggilan Mbok Sumi yang menyuruhnya mengecilkan volume speaker itu. Kalau pun mendengar, tak akan di gubrisnya.
            Cukup sudah! Ini sudah hari ketujuh ia tak bertemu dengan Vino. Vanya benar-benar merasa kesepian dan marah karena telah diabaikan. Bukan karena Vanya tak mempunyai teman lain selain Vino. Hanya saja, selama ini ia selalu menghabiskan waktu dengan Vino. Ia merasa aman dan nyaman juga bahagia jika melakukan segala hal dengan sahabatnya sejak masih kecil itu.
            Baru kali ini Vino mengabaikannya. Dan itu semua pasti karena Tasya brengsek itu! Sudah sejak awal dia tak menyukai wanita itu. Perempuan itu terlihat begitu agresif dan genit. Wajahnya yang imut itu pasti hanya dibuat-buat. Vanya juga bisa melakukan hal seperti itu, hanya saja Vanya tak sudi bersikap seolah dia wanita ganjen yang hobi bermanja-manja dengan pria manapun.
            Vanya memutuskan untuk pergi ke rumah Vino. Ia sengaja tak mengirimkan pesan lebih dulu, karena yakin tak akan mendapat balasan yang diinginkannya. Vanya kembali mematut dirinya di cermin. Dia terlihat sangat cantik dengan setelan yang biasa ia gunakan jika ingin bermain basket. Ia mengenakan kaos hijau cerah berbahan katun dengan tulisan Wanna play with me? berwarna merah darah di depannya, dan celana basket biru. Vanya mengikat rambutnya yang hanya sebahu menjadi satu ikatan ke belakang.
            Setelah merasa penampilannya cukup pas untuk bermain basket, dia mengambil salah satu sepatu kets-nya di rak sepatu di samping lemari pakaiannya. Vanya telah siap. Ia berjalan keluar dari pintu gerbangnya sambil memeluk bola basket di dadanya, dan tas kecil berwarna hijau tersampir di bahunya. Awas saja jika Vino tak ada di rumahnya, batin Vanya.
* * *
            Vanya melempar bola basket yang sejak tadi hanya di drible-nya ke arah ring yang menjulang tinggi dihadapannya.
            BRUKK!
            Tembakan Vanya meleset rupanya. Bagaimana tidak, dia melemparnya dengan sangat kasar. Terlalu kasar malah. Dan penyebabnya adalah Vino sedang tak di rumah, dan kata Bibi yang membukakan gerbang rumah Vino tadi, Vino sedang pergi keluar bersama seorang wanita yang sangat manis.
            Vanya menangkap bolanya yang memantul ke papan ring basket tadi. Ia men-dribel nya beberapa saat. Jadi, sekarang Vino lebih mementingkan wanita itu dibanding dirinya! Benak Vanya dipenuhi begitu banyak spekulasi yang dibuatnya sendiri. Apa-apaan dia! Apa dia marah padaku karena tantangan yang ku berikan beberapa waktu lalu saat Vino memilih dare saat gilirannya? Jika memang begitu, mengapa dia tak memarahiku saja dan bukannya malah mengabaikanku seperti ini!
            Ketika siap melemparkan bola digenggamannya ke arah ring basket dengan sekuat tenaga, tiba-tiba sebuah tangan besar mencengkram lengannya, menghentikan niatnya me-nge-shoot bola tak berdosa tersebut.
            “Kalo nge-shoot pake perhitungan. Jangan seenaknya gitu, mana bisa nyetak poin kalo gitu.” Kata si pemilik tangan besar, yang tidak lain adalah sang pemilik rumah dan juga lapangan serta ring basket, Alvino Diraga.
            Vanya menarik lengannya dengan kasar dari cengkraman tangan Vino. “Suka-suka gue kek.” Kata Vanya ketus. Kembali mengarahkan bolanya untuk di shoot sekencang mungkin. Dan kali ini Vino tak menghalanginya.
            Kini bola yang ditembak Vanya sekuat tenaga ke arah ring basket kembali memantul di papan putih di sekitar ring basket. Dan, astaga! Bola itu terpantul mengarah ke kepala Vanya. Dan sebelum Vanya menyadarinya, bola itu lebih dulu mencium keningnya sehingga membuatnya jatuh tergeletak tak sadarkan diri.
            Vino juga terlambat menyadari datangnya bola tersebut. Ia langsung berjongkok mengangkat kepala Vanya.
            “Van.. Van.. Bangun, Van!” Vino menepuk-nepuk pipi Vanya dengan panik.
            “Van.. Bangun, Van! Vanya...” Vino masih berusaha menyadarkan Vanya, ia begitu khawatir. Wajahnya memucat. Tak tahu harus bagaimana.
            Ketika Vino bersiap mengangkat Vanya, tiba-tiba Vanya mengerang. Ia mulai pulih rupanya. Vino merasa sedikit lega.
            “Van, lo nggak pa-pa kan?” Tanya Vino dengan nada yang terdengar begitu cemas.
            Vanya tak mampu menjawab, ia hanya menggeleng pelan. Vino segera membantu Vanya berdiri, dia mengajak Vanya untuk masuk ke dalam rumah agar bisa istirahat.
            “Nih, minum dulu.” Vino menyodorkan air putih yang dibawakan Bibi.
            Vanya meminum air itu dibantu Vino. Ia hanya meminumnya sedikit. Lalu kembali berbaring di atas tempat tidurnya Vino. Vino membawa Vanya ke kamarnya.
            “Lo, sih! Udah gue bilangin juga, ng-shoot itu pake perhitungan. Gini, kan jadinya.” Vino mengomel sambil meletakkan gelas yang dipegangnya ke atas meja di sampingnya.
            “Truth or dare?” Kata Vanya tiba-tiba.
            Vino mengerutkan keningnya. Bingung. Sempat-sempatnya dia mengajak bermain di saat seperti ini. Benar-benar tak tahu sikon.
            “Ntar aja mainnya, lo istirahat aja dulu.”
            “Truth or dare?” Vanya mengulangi pertanyaannya. Vino mendesah pelan. Ia menyerah.
            “Truth.”
            “Lo jadian sama Tasya?”
            “Kok nanyain Tasya?” sejak tadi Vanya terus membuatnya heran.
            “Jawab aja.” Nada Vanya sangat dingin, tak biasanya dia memberikan pertanyaan yang serius ketika memainkan permainan ini.
            “Nggak.”
            “Kalo gitu, kenapa lo selalu milih sama dia akhir-akhir ini dan nyuekin gue?”
            “Lo cemburu?” Vino penasaran dengan nada Vanya yang terdengar sangat kesal itu.
            “Eh, ng-nggak lah... Ngapain gue cemburu.” Vanya yang tak menduga akan ditanyai pertanyaan semacam itu oleh Vino, menjawab terbata-bata dengan suara yang sangat pelan.
            “Yaudah. Truth or dare?”
            “Truth.”
            “Lo suka sama gue?”
            Vanya mengernyit. Lagi-lagi Vino menanyakan hal aneh. Ada apa dengannya?
“Kok nanyanya gitu?”
            “Jawab aja.”
            Vanya diam. Dia bingung harus menjawab apa. Dia benar-benar tak tahu kemana arah permainan ini. Apa yang diinginkan Vino sebenarnya?
            Vino menghela napas. “Kenapa diem?” Vino sudah tidak sabar ingin mendengar jawaban Vanya.
            “Gue suka sama lo.” Sambung Vino. Vino memutuskan untuk mengungkapkannya terlebih dulu. Karena dilihatnya Vanya ragu-ragu dan bingung. Vanya tersentak. Matanya yang bulat melebar.
“Selama ini gue deket sama cewek, ya cuma sama lo doang. Karena lo ga pernah ngebiarin gue main sama cewek lain. Dan gue juga nyaman sama cewek, ya cuma sama lo doang. Mungkin karena kita juga udah kenal dari kecil, jadi udah saling ngerti satu sama lain. Dan gue bener-bener bete, pas lo nantangin gue buat minta nomor Tasya. Gue sengaja nyanggupin dan jalan sama dia, biar lo nyesel udah nyuruh gue ngelakuin itu. Tapi, jujur aja. Gue bener-bener ga nyaman pas jalan sama dia, risih gue. Dan gue ngerasa ga jadi diri gue sendiri pas sama dia. Jadi, gimana?” Tanya Vino setelah sekian lama bermonolog. Vanya hanya melongo. Dia masih tak percaya. “Jadi, gimana???” Ulang Vino, sedikit lebih kencang.
“Hah, apanya?” Vanya bingung dengan apa yang dimaksud Vino dengan gimana itu.
“Yee, elo mah lemot. Ya, gimana. Lo udah nyesel belum?” Vino bertanya dengan tampang polos.
“Iya, udah. Nyesel kok.” Jawab Vanya jujur. Dia menundukkan kepalanya.
“Terus, lo suka sama gue, nggak?” Vino mengangkat dagu Vanya dengan tangannya.
Vanya mengangguk dua kali. Vino tersenyum cerah. Kemudian dia menarik Vanya dengan satu gerakan cepat ke pelukannya. Vanya membenamkan wajahnya di bahu Vino.
“Truth or dare?” Tanya Vanya setelah menarik diri dari Vino.
“Dare. Lo masih aja, ya. Hahaha.” Vino tak bisa menahan tawanya.
“Jauhin Tasya.” Pinta Vanya dengan nada serius. Dan itu membuat Vino tertawa geli. Wanita ini benar-benar cemburu rupanya. Tapi setelahnya dia mengangguk pasti.
“Beres, sayaaaang....” Vino kembali memeluk Vanya. Vanya tersenyum puas.

Karya   : Lidya Christin Silalahi
Sumber: http://martabakmietelor.blogspot.com/2013/07/friendship-and-love-truth-or-dare.html

Tidak ada komentar: