“Sekarang, giliran lo
nih.” Kata Vanya kepada Vino.
“Truth
or dare?” Sambung Vanya.
“Gue
pilih dare, deh.” Tukas Vino.
Avanya
Riandini dan Alvino Diraga sedang memainkan permainan kesukaan mereka sejak
kecil. Truth or Dare. Mereka selalu melakukan permainan ini kala mereka
kehabisan bahan pembicaraan. Mereka telah bersahabat sejak duduk di bangku
taman kanak-kanak. Dan rumah mereka juga tidak berjauhan karena berada dalam
satu kawasan perumahan.
Kini
mereka telah duduk di bangku SMA. Keduanya sama-sama kelas 2 SMA tahun ini.
Karena mereka baru saja naik kelas dan sekarang sedang menikmati liburan panjang
yang membosankan, karena kedua orangtua mereka sedang sibuk dan tidak berniat
untuk mengajak keduanya pergi berlibur. Jadilah mereka memutuskan untuk
menghabiskan waktu berdua saja.
Sekarang
mereka sedang berada di taman yang terletak tidak jauh dari kawasan perumahan
mereka. Mereka memilih duduk di rumput-rumput hijau yang terlihat segar
dibanding duduk di bangku yang membuat pantat mereka pegal. Dan mereka tengah
memainkan permainan Truth or Dare.
“Kalo
gitu.....” Vanya memandang sekeliling sebentar. Sedang memikirkan tantangan apa
yang harus diberikan pada sahabatnya ini. Dan, aha! Dia mendapatkan ide gila
ketika melihat dua orang wanita seumuran mereka sedang duduk di bangku taman.
“Lo
datengin tuh cewek dua.” Vanya menunjuk wanita-wanita imut yang sedang asyik
cekikikan dibangku taman tak jauh dari tempat mereka duduk.
“Hah?
Ngapain?” Vino bingung, apa sebenarnya yang ada dipikiran Vanya.
“Hihihi...
Ya, lo minta nomor hape salah satu
dari mereka. Kalo lo berhasil, gue akuin keberanian lo!” Kata Vanya masih
sambil tertawa geli. Ia tahu, Vino tidak suka melakukan hal-hal yang sering
dilakukan cowok-cowok ganjen yang suka menggoda cewek-cewek imut nan manis.
Tapi, itu tantangan darinya. Siapa suruh Vino memilih dare, kata Vanya dalam
hati. Mereka memang selalu seperti itu, selalu menggunakan ide-ide gila untuk
menantang satu sama lain saat memilih dare. Dan akan menanyakan
pertanyaan-pertanyaan konyol dan bodoh jika memilih truth.
“Ah!
Lo kebiasaan nih, nggak ada yang lain apa?” Vino memasang raut memohon. Ia sama
sekali tak suka mendekati wanita yang tak dikenalnya apalagi harus meminta
nomor ponselnya.
“Nggak.
Lakuin, atau lo gue anggep pecundang!” Tukas Vanya. Ia juga penasaran, apakah
Vino akan mendapatkan nomor wanita itu atau malah mendapat makian karena
tiba-tiba meminta nomor orang yang sama sekali tak dikenal.
“Oke,
oke. Awas lo, ya. Ntar gue bales. Nyesel lo, nyuruh gue minta nomor tuh cewek.”
Vino dengan jengkel berdiri dari tempatnya duduk sejak sejam yang lalu. Ia
melangkahkan kaki menuju bangku yang diduduki kedua wanita imut yang ditunjuk
Vanya tadi.
Vanya
menahan senyum di tempatnya duduk, sambil melihat langkah kaki Vino yang dengan
gontai menuju ke arah “sang mangsa”. Ia ingin tahu, bagaimana Vino
menyelesaikan tantangannya. Dan Vino telah sampai di hadapan kedua target.
Vanya melihat Vino menyapa mereka sambil menebarkan senyumnya yang paling
mempesona. Vanya mendesis jengkel. Benar-benar sok tampan pria satu itu.
Padahal, Vanya memang mengakui ketampanan Vino yang melebihi pria manapun yang
ada di sekolahnya. Ia hanya tak suka melihat Vino menebar pesona kepada wanita
lain. Bukan karena ia menyukai Vino. Tapi ia merasa bahwa Vino adalah miliknya.
Karena selama ini Vino lah sahabat baiknya. Sejak dulu. Sejak mereka masih
kecil. Dan akan terus begitu. Tak ada yang boleh mengambil Vino darinya. Dan Vino
hanya boleh berteman dengan satu wanita, yaitu dirinya sendiri.
* * *
Vino mendengus kesal ketika hampir
sampai di tempat tujuannya. Ia melangkah perlahan sambil berusaha merubah raut
wajahnya yang terlihat jengkel menjadi semanis mungkin. Dan saat tiba dihadapan
kedua gadis yang dimaksud Vanya, ia berdehem pelan untuk mendapatkan perhatian.
“Ehm...” Vino seolah membersihkan
kerongkongannya, yang sebenarnya tak terganggu oleh apapun.
Kedua wanita yang tadinya sedang
seru bercerita mendadak berhenti berbicara. Mereka menoleh ke arah
pria-tak-dikenal-dan-ternyata-sangat-TAMPAN yang berdehem tadi. Salah satunya
yang berambut panjang dan dikuncir satu ke belakang dengan wajah sangat cantik
dan begitu imut, tersenyum ke arah Vino, dan diam-diam meremas tangan teman di
sebelahnya.
Wanita yang genggaman tangannya
diremas oleh sahabat disampingnya hanya tersenyum ringan ke arah Vino. Tahu
bahwa Vino telah mendapatkan perhatian sepenuhnya dari wanita di sampingnya
ini.
“Gue ganggu kalian ga?” Tanya Vino
dengan senyumnya yang menawan, memulai aksinya.
“Eh.. Ng-nggak kok. Kenapa?” Wanita
yang berambut panjang itu menjawab lebih dulu dengan senyum yang mengembang di
wajahnya.
“Dari tadi gue merhatiin kalian
berdua, dan gue tertarik sama lo. Kayaknya lo orang yang menyenangkan. Boleh
gue tahu nama lo?” Masih dengan tersenyum, Vino melontarkan kalimat andalan
Andre, teman sekelasnya yang terkenal playboy.
Andre sering sekali pamer di kelasnya ketika dia mendapatkan pacar baru dengan
kalimat andalannya itu. Pertanyaan itu dengan mudahnya dia ucapkan, seakan
sudah sering mengucapkannya. Dia sengaja langsung memilih targetnya, karena
kelihatannya wanita itu begitu antusias dengan kehadirannya.
“Oh, gitu. Boleh kok. Gue Tasya.”
Tasya segera berdiri dan mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan.
Oh, oh. Wanita ini begitu agresif,
pikir Vino.
Vino menjabat tangan Tasya, “Gue
Vino. Kalo temen lo?” Tanyanya, sengaja agar Tasya melepaskan jabatan tangannya
yang begitu erat.
Tasya tersenyum masam ketika Vino
melepaskan tangannya, dan terkekeh ketika menoleh ke arah sahabatnya yang
menatapnya dengan tatapan “Lo lupa, ada gue disini?”. “Eh, iya. Ini Sandra,
temen gue.” Tasya menarik tangan Sandra untuk ikut berdiri.
“Vino.”
“Sandra.”
Vino dan Sandra berjabat tangan.
“Eh, gue ga bisa lama-lama nih.
Ditungguin sepupu gue, disana.” Sambung Vino sambil menunjuk ke arah Vanya.
“Gimana kalo kita tukeran nomor handphone
aja, biar bisa ketemuan lain kali?” Vino sudah tidak sabar ingin
menyelesaikan tantangan ini.
“Boleh deh.” Tasya dengan sigap
mengeluarkan ponsel yang berada di saku jaketnya.
Setelah selesai bertukar nomor. Vino
pamit ingin kembali ke tempatnya semula, dengan alasan sepupunya akan merajuk
jika ditinggal terlalu lama.
“Kalo gitu gue duluan ya, sampai
ketemu lagi.” Vino tersenyum sambil melambaikan tangannya sejenak, lalu
berbalik menuju tempat Vanya berada.
“Iya.. Dadaaah...” Tasya
melambai-lambai dengan girang.
Sandra hanya menggeleng-geleng melihat
kelakuan temannya yang satu ini. Memang begitulah tingkah Tasya bila berkenalan
dengan pria tampan selama mereka berteman. Tasya memiliki wajah yang manis
sehingga dengan mudah menarik perhatian para lelaki dan minat mereka untuk
berkenalan dengan Tasya. Termasuk Vino, pikir Sandra.
“Dia cakep banget ya, San.” Kata
Tasya masih dengan senyum mengembang lebar di wajahnya.
“Iya. Dia orang ke 1024 yang lo
bilang gitu.” Sahut Sandra cuek.
“Yeee... Lo mah selalu gitu. Nggak
bisa ikut seneng ngeliat temennya seneng.”
“Terserah lo, deh.” Sandra tak ingin
berdebat. Ia berusaha mencari topik pembicaraan lain, agar temannya ini
melupakan Vino sejenak.
“Eh, terus gimana sama rencana
liburan lo ke Lombok?”
“Ah, iya. Gue sampe lupa, tadi kita
lagi bahas itu, ya? Ya gitu deh, gue pengennya bareng sama nyokab-bokab. Jadi
mesti nunggu beberapa hari lagi.” Tasya kembali melanjutkan ceritanya yang tadi
terpotong karena deheman seorang pria tampan. Diam-diam Sandra merasa lega
karena Tasya tak lagi membahas Vino. Karena bila sudah membahas seorang pria,
tak akan pernah ada habisnya bagi Tasya.
* * *
Vanya tersenyum sinis ketika melihat
Vino kembali duduk ditempatnya semula dengan senyum penuh kemenangan. Sial!
Vanya mengumpat dalam hati, tidak biasanya Vino menyanggupi tantangan semacam
tadi, dan yang menjadi kejutan adalah dia berhasil!
“Gimana? Puas lo?” Tanya Vino dengan
senyum mengejek.
“Iya deh iya. Lo berani. Lo hebat.”
Vanya dengan terpaksa mengakui keberanian Vino.
“Tuh cewek manis banget, sih.
Gampang diajak kenalan juga. Hahaha.”
“Ah, lo sok kecakepan banget tadi.
Enek gue ngeliatnya.”
“Emang gue cakep.”
“Ckck kadar ke-pedean lo meningkat
drastis, bung.” Vanya menggeleng-geleng tak percaya.
“Biarin. Kapan-kapan, gue mau ajak
tuh cewek jalan, ah.” Vino mengeluarkan ponselnya dari saku celananya.
Menekan-nekan layar handphone nya
dengan lagak sok serius.
Vanya mendelik ke arah Vino. Apa
maksudnya? Apa Vino benar-benar akan mendekati wanita tadi? Sejak kapan dia mulai
tertarik mendekati seorang wanita yang baru dikenalnya?
Vino yang sadar di tatap begitu
tajam dengan jengkel oleh si pemilik mata, mendongak dan bertanya, “Apa?”
“Lo pengen kencan sama tuh cewek?”
Vanya menoleh ke tempat dua wanita genit tadi duduk. Rupanya mereka telah
pergi.
“Iya, kan tadi lo yang nyuruh
mintain nomornya. Sayang kan kalo dianggurin.” Vino memainkan alisnya dengan
menaik-turunkan alis tebalnya itu. Lalu kembali menunduk dan sibuk dengan
ponselnya.
“Sejak kapan lo suka ngajakin cewek
jalan?” Alis Vanya menyatu menandakan keheranannya.
“Ya, sejak lo tantangin gue tadi.”
Jawab Vino tanpa mengangkat kepalanya. Dia begitu sibuk berkutat dengan
ponselnya. Tampaknya dia sedang berkirim-kirim pesan dengan seseorang.
“Lo ngapain sih? Sms-an? Sama cewek tadi?” Tanya Vanya
penasaran.
“Tasya. Namanya Tasya.” Vino masih
sibuk mengetik-ngetik balasan pesannya.
Vanya merasa kesal diabaikan begitu.
Dan ia pun mulai menyesali tantangan yang diberikannya tadi. Kalau saja ia
tidak menantang Vino meminta nomor gadis itu, ia tak akan kehilangan perhatian
Vino seperti sekarang ini.
Tiba-tiba Vanya berdiri.
Membersihkan bagian belakang celana jeans
pendek yang dikenakannya dari rumput-rumput kering yang menempel disana.
“Gue pulang, ah. Bete!” Vanya melirik
sebentar ke arah Vino yang masih tak menyadari dirinya yang sudah bersiap akan
pergi. Dia mendengus kesal. Lalu benar-benar pergi.
Vino mengangkat kepalanya, melihat
kepergian Vanya. Lalu tertawa geli sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
Kemudian kembali asyik dengan ponselnya.
* * *
Sejak kejadian di taman kompleks
kemarin, Vanya sulit sekali menghubungi Vino untuk mengajaknya bermain bersama.
Jika Vanya menghubungi ponsel Vino, yang terdengar hanyalah nada panggilan
sibuk atau nada pemberitahuan bahwa ponselnya sedang tidak aktif. Pesan-pesan
yang dikirimnya pun jarang dibalas.
Dan hari ini Vanya benar-benar bosan berada di
rumahnya. Vanya mengirim pesan pada Vino, isinya Vanya ingin mengajak Vino
bermain basket di rumah Vino. Vino memiliki lapangan pribadi yang cukup luas di
samping rumahnya, lengkap dengan ring basket di ujung kedua sisinya. Vino dan
Vanya sering bermain basket di sana jika Vanya sedang main ke sana.
Tapi balasan pesan singkat yang
diterima Vanya begitu membuatnya bertambah kesal. Sorry, Van. Gue ada janji
nonton bareng sama Tasya. Lain kali aja, ya J
“Ah! Sialan tuh cewek!!” Vanya
melemparkan ponselnya ke kasur dengan kasar, hingga terjatuh ke lantai.
Untung saja lantai kamarnya dilengkapi dengan karpet
yang cukup tebal sehingga menyelamatkan nasib ponsel itu, karena jika tidak,
ponsel malang itu akan hancur dengan mudahnya. Ia menggerutu dalam hati. Ia tak
bisa terima jika alasan Vino selama ini tak bisa dihubungi karena wanita ganjen
itu.
Vanya berjalan ke arah meja yang
terletak di sudut kamarnya, ia menghidupkan Speaker Box Music nya yang terletak
di atas meja tersebut dan telah di pasangkan kartu memory MicroSD yang berisi
lagu-lagu favoritnya.
Vanya memutar lagu Crazy-nya Simple
Plan dengan volume tertinggi yang mampu memekakkan telinga siapapun yang mendengarnya,
terkecuali Avanya Riandini. Ia memang suka begitu jika sedang merasa marah
ataupun kesal. Baginya suara-suara yang mencapai gelombang ultrasonik itu mampu
mewakili amarahnya yang meledak-ledak.
Vanya memutuskan untuk tidur siang
saja, karena tak ada lagi yang bisa ia kerjakan. Tak berapa lama, ia pun
terlelap diiringi kebisingan yang diciptakan Bon Jovi dengan lagunya yang
bertajuk It’s My Life melalui Speaker Box Music milik Vanya. Dan Vanya tentu
tak mendengarkan panggilan Mbok Sumi yang menyuruhnya mengecilkan volume
speaker itu. Kalau pun mendengar, tak akan di gubrisnya.
Cukup sudah! Ini sudah hari ketujuh
ia tak bertemu dengan Vino. Vanya benar-benar merasa kesepian dan marah karena
telah diabaikan. Bukan karena Vanya tak mempunyai teman lain selain Vino. Hanya
saja, selama ini ia selalu menghabiskan waktu dengan Vino. Ia merasa aman dan
nyaman juga bahagia jika melakukan segala hal dengan sahabatnya sejak masih
kecil itu.
Baru kali ini Vino mengabaikannya.
Dan itu semua pasti karena Tasya brengsek itu! Sudah sejak awal dia tak
menyukai wanita itu. Perempuan itu terlihat begitu agresif dan genit. Wajahnya
yang imut itu pasti hanya dibuat-buat. Vanya juga bisa melakukan hal seperti
itu, hanya saja Vanya tak sudi bersikap seolah dia wanita ganjen yang hobi
bermanja-manja dengan pria manapun.
Vanya memutuskan untuk pergi ke
rumah Vino. Ia sengaja tak mengirimkan pesan lebih dulu, karena yakin tak akan
mendapat balasan yang diinginkannya. Vanya kembali mematut dirinya di cermin.
Dia terlihat sangat cantik dengan setelan yang biasa ia gunakan jika ingin
bermain basket. Ia mengenakan kaos hijau cerah berbahan katun dengan tulisan Wanna play with me? berwarna merah darah
di depannya, dan celana basket biru. Vanya mengikat rambutnya yang hanya sebahu
menjadi satu ikatan ke belakang.
Setelah merasa penampilannya cukup
pas untuk bermain basket, dia mengambil salah satu sepatu kets-nya di rak
sepatu di samping lemari pakaiannya. Vanya telah siap. Ia berjalan keluar dari
pintu gerbangnya sambil memeluk bola basket di dadanya, dan tas kecil berwarna
hijau tersampir di bahunya. Awas saja jika Vino tak ada di rumahnya, batin
Vanya.
* * *
Vanya melempar bola basket yang
sejak tadi hanya di drible-nya ke
arah ring yang menjulang tinggi dihadapannya.
BRUKK!
Tembakan Vanya meleset rupanya.
Bagaimana tidak, dia melemparnya dengan sangat kasar. Terlalu kasar malah. Dan
penyebabnya adalah Vino sedang tak di rumah, dan kata Bibi yang membukakan
gerbang rumah Vino tadi, Vino sedang pergi keluar bersama seorang wanita yang
sangat manis.
Vanya menangkap bolanya yang
memantul ke papan ring basket tadi. Ia men-dribel
nya beberapa saat. Jadi, sekarang Vino lebih mementingkan wanita itu
dibanding dirinya! Benak Vanya dipenuhi begitu banyak spekulasi yang dibuatnya
sendiri. Apa-apaan dia! Apa dia marah padaku karena tantangan yang ku berikan
beberapa waktu lalu saat Vino memilih dare saat gilirannya? Jika memang begitu,
mengapa dia tak memarahiku saja dan bukannya malah mengabaikanku seperti ini!
Ketika siap melemparkan bola
digenggamannya ke arah ring basket dengan sekuat tenaga, tiba-tiba sebuah tangan
besar mencengkram lengannya, menghentikan niatnya me-nge-shoot bola tak berdosa tersebut.
“Kalo nge-shoot pake perhitungan. Jangan seenaknya gitu, mana bisa nyetak
poin kalo gitu.” Kata si pemilik tangan besar, yang tidak lain adalah sang
pemilik rumah dan juga lapangan serta ring basket, Alvino Diraga.
Vanya menarik lengannya dengan kasar
dari cengkraman tangan Vino. “Suka-suka gue kek.” Kata Vanya ketus. Kembali
mengarahkan bolanya untuk di shoot
sekencang mungkin. Dan kali ini Vino tak menghalanginya.
Kini bola yang ditembak Vanya sekuat
tenaga ke arah ring basket kembali memantul di papan putih di sekitar ring
basket. Dan, astaga! Bola itu terpantul mengarah ke kepala Vanya. Dan sebelum
Vanya menyadarinya, bola itu lebih dulu mencium keningnya sehingga membuatnya
jatuh tergeletak tak sadarkan diri.
Vino juga terlambat menyadari
datangnya bola tersebut. Ia langsung berjongkok mengangkat kepala Vanya.
“Van.. Van.. Bangun, Van!” Vino
menepuk-nepuk pipi Vanya dengan panik.
“Van.. Bangun, Van! Vanya...” Vino
masih berusaha menyadarkan Vanya, ia begitu khawatir. Wajahnya memucat. Tak
tahu harus bagaimana.
Ketika Vino bersiap mengangkat
Vanya, tiba-tiba Vanya mengerang. Ia mulai pulih rupanya. Vino merasa sedikit
lega.
“Van, lo nggak pa-pa kan?” Tanya
Vino dengan nada yang terdengar begitu cemas.
Vanya tak mampu menjawab, ia hanya
menggeleng pelan. Vino segera membantu Vanya berdiri, dia mengajak Vanya untuk
masuk ke dalam rumah agar bisa istirahat.
“Nih, minum dulu.” Vino menyodorkan
air putih yang dibawakan Bibi.
Vanya meminum air itu dibantu Vino.
Ia hanya meminumnya sedikit. Lalu kembali berbaring di atas tempat tidurnya
Vino. Vino membawa Vanya ke kamarnya.
“Lo, sih! Udah gue bilangin juga,
ng-shoot itu pake perhitungan. Gini,
kan jadinya.” Vino mengomel sambil meletakkan gelas yang dipegangnya ke atas
meja di sampingnya.
“Truth or dare?” Kata Vanya
tiba-tiba.
Vino mengerutkan keningnya. Bingung.
Sempat-sempatnya dia mengajak bermain di saat seperti ini. Benar-benar tak tahu
sikon.
“Ntar aja mainnya, lo istirahat aja
dulu.”
“Truth or dare?” Vanya mengulangi
pertanyaannya. Vino mendesah pelan. Ia menyerah.
“Truth.”
“Lo jadian sama Tasya?”
“Kok nanyain Tasya?” sejak tadi
Vanya terus membuatnya heran.
“Jawab aja.” Nada Vanya sangat
dingin, tak biasanya dia memberikan pertanyaan yang serius ketika memainkan
permainan ini.
“Nggak.”
“Kalo gitu, kenapa lo selalu milih
sama dia akhir-akhir ini dan nyuekin gue?”
“Lo cemburu?” Vino penasaran dengan
nada Vanya yang terdengar sangat kesal itu.
“Eh, ng-nggak lah... Ngapain gue
cemburu.” Vanya yang tak menduga akan ditanyai pertanyaan semacam itu oleh Vino,
menjawab terbata-bata dengan suara yang sangat pelan.
“Yaudah. Truth or dare?”
“Truth.”
“Lo suka sama gue?”
Vanya mengernyit. Lagi-lagi Vino
menanyakan hal aneh. Ada apa dengannya?
“Kok nanyanya gitu?”
“Jawab aja.”
Vanya diam. Dia bingung harus
menjawab apa. Dia benar-benar tak tahu kemana arah permainan ini. Apa yang
diinginkan Vino sebenarnya?
Vino menghela napas. “Kenapa diem?”
Vino sudah tidak sabar ingin mendengar jawaban Vanya.
“Gue suka sama lo.” Sambung Vino.
Vino memutuskan untuk mengungkapkannya terlebih dulu. Karena dilihatnya Vanya
ragu-ragu dan bingung. Vanya tersentak. Matanya yang bulat melebar.
“Selama ini gue deket sama cewek, ya cuma sama lo
doang. Karena lo ga pernah ngebiarin gue main sama cewek lain. Dan gue juga
nyaman sama cewek, ya cuma sama lo doang. Mungkin karena kita juga udah kenal
dari kecil, jadi udah saling ngerti satu sama lain. Dan gue bener-bener bete,
pas lo nantangin gue buat minta nomor Tasya. Gue sengaja nyanggupin dan jalan
sama dia, biar lo nyesel udah nyuruh gue ngelakuin itu. Tapi, jujur aja. Gue
bener-bener ga nyaman pas jalan sama dia, risih gue. Dan gue ngerasa ga jadi
diri gue sendiri pas sama dia. Jadi, gimana?” Tanya Vino setelah sekian lama
bermonolog. Vanya hanya melongo. Dia masih tak percaya. “Jadi, gimana???” Ulang
Vino, sedikit lebih kencang.
“Hah, apanya?” Vanya bingung dengan apa yang
dimaksud Vino dengan gimana itu.
“Yee, elo mah lemot. Ya, gimana. Lo udah nyesel
belum?” Vino bertanya dengan tampang polos.
“Iya, udah. Nyesel kok.” Jawab Vanya jujur. Dia
menundukkan kepalanya.
“Terus, lo suka sama gue, nggak?” Vino mengangkat
dagu Vanya dengan tangannya.
Vanya mengangguk dua kali. Vino tersenyum cerah.
Kemudian dia menarik Vanya dengan satu gerakan cepat ke pelukannya. Vanya
membenamkan wajahnya di bahu Vino.
“Truth or dare?” Tanya Vanya setelah menarik diri
dari Vino.
“Dare. Lo masih aja, ya. Hahaha.” Vino tak bisa menahan
tawanya.
“Jauhin Tasya.” Pinta Vanya dengan nada serius. Dan
itu membuat Vino tertawa geli. Wanita ini benar-benar cemburu rupanya. Tapi
setelahnya dia mengangguk pasti.
“Beres, sayaaaang....” Vino kembali memeluk Vanya.
Vanya tersenyum puas.
Karya : Lidya Christin Silalahi
Sumber: http://martabakmietelor.blogspot.com/2013/07/friendship-and-love-truth-or-dare.html
Karya : Lidya Christin Silalahi
Sumber: http://martabakmietelor.blogspot.com/2013/07/friendship-and-love-truth-or-dare.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar