Mencintai memang tak harus memiliki. Dengan melihat orang yang kau cintai
bahagia itupun sudah menjadi kebahagiaan tersendiri bagimu. Ya, itulah yang
selalu dikatakan para penyair dan pepatah-pepatah. Aku berusaha mempercayainya
dan mencoba untuk puas dengan hanya memandangimu dari kejauhan. Tanpa pernah
mempunyai kesempatan untuk merengkuhmu, menggenggam jemarimu, mengusap pipimu,
mengacak rambutmu dan tindakan-tindakan kecil namun mampu mengalirkan sensasi
rasa sayang yang membuncah seperti yang dilakukan wanita itu padamu.
Kamu tak pernah tahu, seberapa keras aku menahan diriku untuk tak berlari ke
arahmu dan memelukmu. Betapa inginnya aku meneriakkan seluruh perasaan yang
selama ini menumpuk dan terpendam jauh begitu dalam di hatiku.
Pernah suatu saat, kau menyapaku. Kemudian menanyakan keberadaan guru yang
sedang mengajar pada saat itu, karena kau berniat bolos untuk menyaksikan
penampilan kekasihmu di kompetisi yang diikutinya di sekolah. Ya, statusku
hanyalah
seorang-teman-sekelas-yang-tak-pernah-bisa-menyapanya-apabila-tak-disapa-terlebih-dulu.
Dan aku bukanlah sebuah alasan yang bisa membuatnya lebih memilih bolos di saat
jam belajar-mengajar berlangsung. Aku bukanlah wanita yang di prioritaskan
olehnya, seperti dia selalu menomorsatukan kekasihnya itu. Karena aku memang
bukan siapa-siapa.
Tapi aku memilih untuk merasa puas. Puas karena dia memilihku sebagai tempat
bertanya. Puas karena dia membutuhkan sedikit informasi dariku. Puas karena dia
mengetahui namaku. Karena namaku terdengar lebih indah ketika dia yang
menyebutnya. Ya, aku bersyukur karena dilahirkan sebagai wanita yang selalu
merasa puas akan apa yang kuterima. Hanya dalam kasus ini tentunya.
Namun... Sampai kapan? Sampai kapan aku harus terus merasa puas dengan
kepuasanku sendiri? Sampai kapan aku bisa merasa puas hanya dengan status
teman-sekelas-yang-tak-kau-kenali-lebih-dalam?
Andai saja saat itu pertanyaan yang terlontar dari mulutmu adalah apakah aku
mempunyai perasaan yang berbeda padamu. Apakah selama ini aku diam-diam
memperhatikanmu. Apakah selama ini aku bisa dengan mudah mengabaikan
keberadaanmu. Tentuk aku tak akan mengelak. Karena dengan sedikit pancingan
darimu, aku akan dengan mudah menyatakan perasaanku. Aku tak pernah menganggap
wanita yang menyatakan perasaan lebih dulu itu salah. Hei... Sekarang 2013!!
Sudah cukup lama bagiku mencintaimu bagai langit mendung yang enggan untuk
menumpahkan seluruh muatan yang dibendungnya. Tak mudah bagiku mengagumimu
layaknya itik yang tak sudi masuk ke dalam kolam susu. Bukan karena merasa
angkuh, namun sebaliknya, aku merasa tak layak, tak pantas. Sebatas menjadi
pengagummu pun aku merasa tak pantas. Aku memang begitu pengecut. Tak pernah
berani menghadapi pangeran tampan sepertimu dan mengakui perasaanku. Aku
hanya.... Khawatir. Khawatir bila kau malah semakin tak menyukaiku. Khawatir
kau malah menganggapku sebagai kuman yang tak seharusnya berada disekitarmu.
Aku tak pernah menginginkan kau membalas perasaanku. Yang kuingin hanyalah kau
mengetahui perasaanku. Sedikit menganggap keberadaanku. Sedikit menoleh
kepadaku. Sedikit menaruh perhatian padaku.
Sederhana bukan? Karena aku tak pernah meminta lebih. Aku selalu meminta
hal-hal kecil yang sudah cukup membuatku bahagia. Aku tak ingin merasa terlalu
bahagia, karena aku ingin menikmati sedikit demi sedikit sensasi kebahagiaan
itu sendiri.
Begitu sulitkah bagimu untuk mengabulkan keinginanku yang sederhana ini?
Haruskah aku tetap diam? Memendamnya sendiri. Menyimpannya bagiku sendiri.
Karya : Lidya Christin Silalahi
Sumber: http://martabakmietelor.blogspot.com/2013/07/haruskah-kusimpan-sendiri.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar