Jumat, 25 Oktober 2013

Berujung Penyesalan (MAAF)

            Mario memandangi langit biru berawan dengan perasaaan kesal. Saat ini dia sedang berada di tempat favoritnya, taman kompleks yang berada tidak jauh dari rumahnya. Mario baru saja bertengkar lagi dengan kakaknya, Markus. Mario dan Markus memang sering sekali bertengkar, baik karena masalah sepele sekalipun. Usia mereka hanya berjarak dua tahun. Markus adalah kakaknya.
“Lo apain motor gue sampe lecet gini!!” Teriak Mario pada Markus.
“Tadi gue pinjem buat ke supermarket, motor gue lagi di bengkel. Terus pas di jalan mau pulang, ada cewek ga sengaja nyenggol tuh motor. Lecet deh.”Jawab Markus enteng.
“Enak aja lo ngomong. Lo minta ganti rugi ga ke dia?”
“Nggak. Tampangnya ketakutan gitu, gue kesian, yaudah gue suruh pulang aja.”
“Apa??? Sok bermurah hati banget lo! Ini motor gue. Tanggung jawab dong, lo!”
“Iya, iya. Besok gue bawa ke bengkel tempat motor gue dibenerin.”
“Cih! Gara-gara lo motor gue jadi ikutan masuk bengkel. Mati aja deh lo!”
Markus hanya diam saja. Bukan hanya sekali dia mendengar kalimat terakhir dari adiknya itu. Jika sedang marah, Mario memang selalu melontarkan kalimat yang sama.  Dia tahu dia memang bersalah. Itu memang motor kesayangan adiknya, tapi dia tidak mungkin tega meminta ganti rugi pada gadis yang telah menorehkan lecet di bagian belakang motor itu. Biarlah dia saja yang menggantinya. Toh, dia memang tak berhati-hati.
“Terserah lo deh. Yang penting gue ada niat tanggung jawab.”
“Halah!!” Mario pergi meninggalkan Markus.
            Mario kembali ke alam sadarnya. Dia memandang ke sekeliling. Setiap sore memang banyak orang yang datang ke taman ini. Baik anak-anak kecil yang bermain kejar-kejaran, anak remaja yang bermain sepak bola, atau orangtua yang hanya sekedar ingin jalan-jalan. Dia merasa malas kembali ke rumah, tepatnya malas melihat muka abangnya yang menyebalkan itu. Akhirnya dia memutuskan untuk lebih lama lagi di tempatnya sekarang.
* * *
            “Halo, bro. Jemput gue, dong. Motor gue lagi di bengkel nih. Iya.... Gue udah siap-siap kok... Oke, gue tunggu ya.” Mario memutuskan sambungan teleponnya.
            “Kamu bareng sama Alan, Yo?” Mama Mario yang sedang menyiapkan sarapan mendengar percakapan Mario di telepon.
            “Iya, Ma.” Mario menjawab singkat, lalu meminum susu putihnya.
            “Kenapa nggak minta dianter sama Markus aja?”
            “Nggak ah, nggak sudi.” Kata Mario ketus.
            “Hus! Itu abang kamu Mario!” Mama Mario terdengar jengkel, bosan dengan setiap perkataan kasar dan ketus yang selalu keluar dari mulut Mario bila menyangkut abangnya.
            “Yee, lagian gue juga ogah nganterin lo.” Markus yang baru keluar dari kamarnya dari lantai atas nimbrung ke dalam pembicaraan.
            “Cih!” Kata Mario sinis.

            Tinnn..Tinnn... Alan yang sudah sampai di depan rumah mereka pun membunyikan klakson menandakan kehadirannya.
            “Ma, Mario berangkat dulu ya. Alan udah dateng tuh.” Mario beranjak dari tempat duduknya lalu mencium pipi mamanya.
            “Iya, hati-hati ya. Pulangnya jangan lama-lama.”
            “Beres, Ma..” Mario melengos pergi melewati bangku Markus, seakan tak ada orang di sana.
            Mamanya hanya menghela nafas melihat kelakuan Mario. “Sampai kapan kalian mau musuhan begitu? Kalian itu saudara kandung. Nggak baik kalo terus-terusan berantem.”
            “Sampai dia dewasa, Ma. Dia belum cukup dewasa buat ngendaliin emosinya.”
            “Seharusnya kamu juga ngajarin dia gimana caranya jadi dewasa, bukannya malah ngeladenin setiap omongan pedasnya.”
            “Biar dia belajar sendiri aja, Ma. Aku berangkat dulu ya, Ma. Ntar telat.” Markus menghabiskan susunya dan menghampiri mamanya lalu mencium kedua pipi Mamanya.
            “Iya, hati-hati ya. Jangan keluyuran.”
            “Iya, Ma.”
           
            Markus mengendarai motornya dengan kecepatan sedang. Karena jam masih menunjukkan pukul setengah tujuh, jalanan mulai macet. Sekarang Markus duduk di bangku kuliah jurusan kedokteran semester kedua. Jarak kampus dari rumahnya hanya membutuhkan waktu setengah jam. Markus masih memikirkan perkataan mamanya di meja makan tadi. Rupanya dia juga tidak betah selalu bertengkar dengan Mario. Selama ini dia selalu menganggap kata-kata kasar Mario hanyalah perasaan kesal yang sementara. Karena dia pun tak pernah benar-benar membenci Mario. Bagaimanapun juga, Mario adalah adik kesayangannya. Dulu, sikap Mario tak pernah sekasar itu pada dirinya. Tapi belakangan ini, dia lebih sering memperbesar masalah dengannya.
            Jadi, Markus hanya bisa membalas kata-kata Mario dengan sindiran ataupun ungkapan-ungkapan yang menyiratkan tak kepeduliannya terhadap omongan yang di lontarkan Mario. Padahal sebenarnya dia merasa sangat terluka jika Mario mengucapkan kalimat makian yang berujung dengan menginginkan kematiannya. Dia tidak habis pikir, apa sih yang membuat Mario begitu membenci dirinya.
           
* * *
            “Kenapa lo ga bareng aja sama abang lo?” Alan yang sedang mengendarai motor membuka pembicaraan.
            “Yaa, males aja. Jijik gue deket-deket dia.”
            “Lo kenapa sih? Kayaknya anti banget sama si Markus. Padahal dia abang kandung lo. Udah kayak virus aja dia lo anggep.” Kata Alan geleng-geleng kepala, heran dengan sikap Mario.
            “Bodo amat. Yang penting gue jijik.”
           
Alan hanya mengangkat bahu. Tak mau terlalu ikut campur. Mario pun ikut diam, dia sebenarnya pun heran dengan sikapnya sendiri. Karena dulu dia sangat menyayangi abangnya itu. Dia selalu meniru apapun yang di  lakukan abangnya. Dia juga minta diajarkan ini-itu dengan Markus. Tapi semenjak dia mengetahui bahwa Alina, wanita yang ditaksirnya sejak SMP menyukai Markus, dia pun mulai membenci Markus. Dia selalu berusaha menarik perhatian Alina, tapi Alina malah mengabaikannya dan malah terus bertanya tentang Markus. Barulah Mario sadar bahwa Alina menyukai Markus.
Sebenarnya Markus tak pernah mengetahui bahwa Alina suka padanya, karena Mario takkan pernah sudi menyampaikan segala macam salam, surat atau kado-kado yang dititipkan Alina padanya untuk Markus. Dia selalu menyimpan semua kado-kado dan surat-surat itu di dalam kotak yang ada di dalam lemari pakaiannya.
Dan semenjak saat itulah Mario selalu mengucapkan kata-kata bahwa  lebih baik Markus mati saja. Karena menurutnya, jika Markus tak ada maka Alina akan berpaling padanya. Meski ia tak pernah benar-benar mengharapkan kematian Markus, tapi entah mengapa dia tidak bisa menahan lidahnya untuk tidak mengatakan kalimat beracun itu.
* * *
Mario sedang bermain basket di lapangan yang berada tidak jauh dari taman kompleks di sekitar rumahnya. Bila sedang tidak ada kegiatan dia akan pergi bermain basket sendirian. Dulu dia sering bermain dengan Markus, tapi karena perasaan pribadinya dia berhenti mengajak Markus bermain bersama. Saat shoot-an nya meleset dari ring dan memantul ke papan ring, bola itu pun terlempar ke arah seseorang. Dan orang tersebut berhasil menangkapnya sehingga gagal mengenai wajah mulusnya. Orang itu ternyata Markus. Tapi ada yang berbeda dari penampilannya. Bukan pakaiannya. Tapi wajahnya. Wajahnya terlihat pucat dan kaku.
Mario mendengus kesal melihat siapa yang menangkap bolanya. Semangat melanjutkan permainannya pun musnah seketika. Dia mendekati Markus, dan mengulurkan tangannya tanda meminta kembali bolanya.
“Siniin bola gue.” Katanya diiringi pandangan sinis.
“Kenapa udahan? Takut lo ngelawan gue?” Tanya  Markus sekaligus menantang.
“Siapa yang takut?!! Gue Cuma ga sudi main sama orang kayak lo.”
“Yaudah, kalo ga takut, kenapa ga mau ngelawan gue?”
“Gu-e ng-gak SU-DI! Pergi lo! Mati aja lo sana!” Ucap Mario dengan penekanan di setiap kata-katanya.
Markus terdiam sesaat. Lalu dia men-dribel bola nya ke arah ring, dan memasukkannya ke dalam ring dengan mulus. Kemudian berbalik ke arah Mario sambil menangkap kembali bolanya.
“Gue tantang lo one by one. Kalo gue menang, lo harus kasih penjelasan ke gue kenapa lo benci banget sama gue. Kalo gue kalah, gue bakal berhenti muncul dihadapan lo.” Markus mengucapkannya dengan nada serius dan menatap ke arah Mario dengan pandangan meyakinkan.
Mario terhenyak. Dia menelan ludah. Apa maksud perkataan Markus? Jika dia kalah, dia tidak akan muncul lagi dihadapannya? Apa maksudnya? Apa dia akan pindah rumah? Pindah ke luar kota? Atau apa? Dia bingung namun tak mau kelihatan perduli. Lalu dia mengangguk menyetujui.
Permainan pun dimulai. Mario dan Markus adalah pria-pria yang jago dalam bidang olahraga. Terutama basket. Mereka dengan mudah men-dribel bola dan kemudian menembaknya tepat ke arah ring dengan mulus. Yang menjadi kesulitan adalah cara merebut bola itu dari lawannya masing-masing. Skor sudah menunjukkan angka 19-14, Markus yang memimpin. Tentu saja, Markus lah yang pertama kali bisa bermain basket, dan mengajarkan Mario setelahnya.
Mario kewalahan mendapatkan bola itu dari Markus. Entah mengapa tampaknya Markus serius sekali ingin memenangkan permainan ini. Hingga akhirnya skor menunjukkan angka 22-18. Permainan dimenangkan oleh Markus. Mario kelelahan dan seakan kehabisan nafas. Markus tak kalah lelahnya. Mereka memutuskan untuk membeli minuman pada penjual di pinggir lapangan.
Setelah menghabiskan minuman mereka masing-masing, Markus kembali menatap adiknya serius.
“Jadi, apa jawaban lo?” Markus menatap adiknya lekat-lekat.
“Lo pengen banget tau alesan gue?” Kata Mario acuh tak acuh. Markus hanya mengangguk.
Mario menghela nafas. Mungkin memang sudah waktunya Markus tahu dasar dari semua kekesalannya selama ini.
“Lo tahu kan gue suka sama Alina sejak SMP?” Markus mengangguk dua kali.
“Lo tahu kenapa sampe saat ini gue ga jadian sama dia?” Markus menggeleng, masih penasaran ke arah mana pembicaraan ini.
“Itu gara-gara LO! Alina sukanya sama lo. Dan bukan gue! Tiap gue deketin dia, dia cuma nganggep gue angin lalu. Dan selalu bersemangat tiap kali ngomongin elo! Tiap ketemu gue, dia selalu nitip salam buat lo. Dia juga kalo nyariin gue Cuma buat nitipin surat cinta sama kado buat lo. Dan itu terjadi nggak Cuma sekali dua kali. Tapi ber-kali-kali!” Mario mendengus kesal, menarik nafas untuk melanjutkan kata-katanya. Sedangkan Markus hanya terdiam, berusaha mencernah setiap kalimat yang terlontar dari mulut adiknya itu.
“Tapi gue ga pernah nyampein surat-surat atau kado-kado itu ke lo. Karena gue ga pengen ntar lo malah suka sama dia terus jadian sama dia. Gue juga ngarep biar dia berhenti ngirimin lo surat sama kado setelah tau lo nggak ngerespon sama sekali. Tapi nyatanya, dia masih aja rajin nitipin ke gue. Makanya gue selalu ngarepin biar lo itu nggak usah ada aja, biar nggak ada orang lain yang dilirik sama Alina selain gue.” Mario menyelesaikan kalimatnya dengan memandang Markus dengan tatapan “Puas?”
“Jadi cuma gara-gara itu?” Tanya Markus setelah terdiam beberapa saat.
“He’eh.” Jawab Mario singkat.
“Ckck. Pikiran lo sempit banget sih! Ga mungkin lah gue suka sama orang yang disukain adek gue sendiri. Lagian Alina udah gue anggep kayak adek sendiri. Sama kayak lo. Picik banget otak lo mikir gue bakalan ngambil dia dari lo.” Markus menggeleng-geleng heran.
Mario menatap Markus tak percaya. Benarkah yang dikatakan Markus? Dia tak pernah berniat mengambil orang yang disukainya? Benarkah begitu? Kalau benar, betapa bodoh dirinya selama ini. Membenci kakaknya hanya karena pikirannya yang tidak beralasan. Kemudian dia mendekati abangnya itu dan memeluknya erat.
“Maafin gue, bang. Gue udah mikir yang nggak-nggak tanpa tahu pendapat lo. Gue terlalu egois, gue ga pernah ngasih tau lo alesan gue selalu ngomong kasar sama lo, padahal lo ga seperti apa yang gue sangka selama ini. Gue terlalu mandang rendah rasa persaudaraan lo ke gue. Gue dosa besar sama lo, bang. Maafin gue.” Mario memeluk Markus semakin erat, berusaha mati-matian menahan air matanya agar tak meluncur dari kelopak matanya. Ia tak ingin terlihat cengeng dihadapan abangnya.
“Iya udah, gapapa kok. Gue ngerti perasaan lo. Gue cuma pengen tahu aja alesan lo ngehindarin gue selama ini. Dan sekarang gue udah tahu. Lo ga perlu kuatir lagi, karena gue ga bakal jadi alesan buat Alisa nolak lo.” Kata Markus sambil menepuk-nepuk punggung Mario.
“Maksud lo apa?” Kata Mario sambil melepaskan pelukannya. Dahinya berkerut-kerut. Sejak tadi abangnya ini selalu saja mengatakan bahwa dia akan pergi dan semacamnya.
“Karena gue bakal pergi jauh. Dan ga bisa nemenin lo sama nyokab lagi. Lo jagain dia ya, jangan bikin dia marah sama sedih mulu. Janji lo sama gue?”
“I... Iya.. Tapi, lo mau kemana emang?” Tanya Mario dengan nada gemetar.
“Ntar lo juga tahu. Udah sore nih, pulang yuk.” Ajak Markus sambil merangkul pundak Mario. Entah mengapa, Mario merasa tangan Markus begitu dingin. Dingin sedingin es.
* * *

            Mario hampir sampai di rumah, ia berjalan lebih dulu karena merasa gerah dan lapar. Dia sudah tidak sabar ingin sampai ke rumah. Namun, saat berada di di depan seorang tetangganya yang berjarak dua rumah dari rumahnya, dia mendadak berhenti. Tubuhnya kaku. Tenggorokannya tercekat. Matanya nyalang menatap ke arah bendera kuning yang berada di depan pagar rumahnya. Dia mencegat salah seorang yang baru saja melewatinya, tampaknya orang itu baru saja dari rumahnya.

            “Si.. siapa... Siapa yang.... ninggal, Bu?” Tanya Mario terbata-bata. Seakan tak yakin dengan pertanyaannya sendiri.
            “Yang tabah ya, Nak Rio. Abang kamu, Markus, dia mengalami kecelakaan sepulang dari kampus. Dan meninggal di tempat. Mayatnya baru saja sampai. Temanilah mamamu, dia sangat histeris tadi.” Ibu itu menepuk-nepuk punggung Mario pelan lalu melanjutkan perjalanannya.

            Mario masih terdiam di tempat. Kakinya terasa kaku. Tak bisa bergerak sedikit pun. Lalu dia berusaha sekuat tenaga membalikkan badannya. Dia menoleh ke belakang. Tak ada siapapun. Tak ada Markus. Benar-benar tak ada. Padahal ia yakin sekali, sepuluh menit yang lalu Markus masih berjalan di belakangnya.
            Markus berlari ke arah rumahnya. Dan sesampainya di pintu rumah, dia melihat mamanya menjerit histeris melihat anak sulungnya yang terbujur kaku di dalam peti. Mario berjalan perlahan ke arah mamanya, langkahnya sangat pelan dan tidak bertenaga. Kakinya bergetar hebat serasa ingin jatuh. Dan akhirnya ia terjatuh di dekat mamanya. Ia menatap kosong ke arah mayat abangnya, Markus.
            Apa-apaan ini? Baru tadi gue main basket sama lo bang! Baru tadi gue baikan sama lo! Barusan juga gue minta maaf sama lo! Lo menang bang! Lo menang! Lo ga perlu pergi dari hadapan gue!! Gue udah ngebayar kekalahan gue. Lo ga perlu bayar kekalahan lo karena lo menang!! Mario menangis sejadi-jadinya. Semua perasaan bersalahnya sejak pengakuan tadi tumpah saat itu juga.
            Kenapa lo ninggalin gue, bang! Kenapa lo tega bikin mama nangis! Mario terus memaki dalam hatinya. Ia tak mengucapkan apa-apa selain menangis. Tubuhnya bergetar hebat menandakan tangisan yang tumpah merupakan penyesalan dan rasa kehilangan yang begitu dalam. Ia tidak menyangka perkataan kasarnya selama ini akan menjadi kenyataan. Ia sama sekali tak benar-benar menginginkan abang satu-satunya ini mati. Andai saja ia tahu bahwa semua perkataannya berakibat seperti ini, ia tak akan pernah mengucapkan kalimat beracunnya itu.
            “Maafin gue, bang. Maafin gue.” Mario memeluk mayat Markus untuk yang terakhir kalinya. Mama Mario pingsan setelah menangis dengan histeris dan masih shock dengan keadaan putra sulungnya.
           
* * *
            “Gapapa, Yo. Ini bukan salah lo. Mungkin udah saatnya gue menghadap sama yang di atas. Gue datengin lo karena gue butuh penjelasan dari lo sebelum gue pergi. Sekarang gue udah tahu semuanya dan gue bisa pergi dengan tenang. Tepatin janji lo, Yo. Jaga diri lo baik-baik dan jaga mama.” Mario mendengar suara Markus tetapi tak menemukan keberadaannya. Setelah suara itu tak terdengar lagi, dia kembali menangis.


Karya    : Lidya Christin Silalahi
Sumber : http://martabakmietelor.blogspot.com/2013/07/berujung-penyesalan-maaf.html

Tidak ada komentar: