Mario
memandangi langit biru berawan dengan perasaaan kesal. Saat ini dia sedang
berada di tempat favoritnya, taman kompleks yang berada tidak jauh dari
rumahnya. Mario baru saja bertengkar lagi dengan kakaknya, Markus. Mario dan
Markus memang sering sekali bertengkar, baik karena masalah sepele sekalipun. Usia
mereka hanya berjarak dua tahun. Markus adalah kakaknya.
“Lo apain motor
gue sampe lecet gini!!” Teriak Mario pada Markus.
“Tadi gue pinjem
buat ke supermarket, motor gue lagi di bengkel. Terus pas di jalan mau pulang,
ada cewek ga sengaja nyenggol tuh motor. Lecet deh.”Jawab Markus enteng.
“Enak aja lo
ngomong. Lo minta ganti rugi ga ke dia?”
“Nggak. Tampangnya
ketakutan gitu, gue kesian, yaudah gue suruh pulang aja.”
“Apa??? Sok bermurah
hati banget lo! Ini motor gue. Tanggung jawab dong, lo!”
“Iya, iya. Besok
gue bawa ke bengkel tempat motor gue dibenerin.”
“Cih! Gara-gara
lo motor gue jadi ikutan masuk bengkel. Mati aja deh lo!”
Markus hanya diam saja. Bukan hanya sekali dia
mendengar kalimat terakhir dari adiknya itu. Jika sedang marah, Mario memang
selalu melontarkan kalimat yang sama. Dia
tahu dia memang bersalah. Itu memang motor kesayangan adiknya, tapi dia tidak
mungkin tega meminta ganti rugi pada gadis yang telah menorehkan lecet di
bagian belakang motor itu. Biarlah dia saja yang menggantinya. Toh, dia memang
tak berhati-hati.
“Terserah lo
deh. Yang penting gue ada niat tanggung jawab.”
“Halah!!” Mario
pergi meninggalkan Markus.
Mario kembali ke alam sadarnya. Dia
memandang ke sekeliling. Setiap sore memang banyak orang yang datang ke taman
ini. Baik anak-anak kecil yang bermain kejar-kejaran, anak remaja yang bermain
sepak bola, atau orangtua yang hanya sekedar ingin jalan-jalan. Dia merasa
malas kembali ke rumah, tepatnya malas melihat muka abangnya yang menyebalkan
itu. Akhirnya dia memutuskan untuk lebih lama lagi di tempatnya sekarang.
* * *
“Halo, bro. Jemput gue, dong. Motor gue
lagi di bengkel nih. Iya.... Gue udah siap-siap kok... Oke, gue tunggu ya.”
Mario memutuskan sambungan teleponnya.
“Kamu bareng sama Alan, Yo?” Mama
Mario yang sedang menyiapkan sarapan mendengar percakapan Mario di telepon.
“Iya, Ma.” Mario menjawab singkat,
lalu meminum susu putihnya.
“Kenapa nggak minta dianter sama
Markus aja?”
“Nggak ah, nggak sudi.” Kata Mario
ketus.
“Hus! Itu abang kamu Mario!” Mama
Mario terdengar jengkel, bosan dengan setiap perkataan kasar dan ketus yang
selalu keluar dari mulut Mario bila menyangkut abangnya.
“Yee, lagian gue juga ogah nganterin
lo.” Markus yang baru keluar dari kamarnya dari lantai atas nimbrung ke dalam
pembicaraan.
“Cih!” Kata Mario sinis.
Tinnn..Tinnn... Alan yang sudah
sampai di depan rumah mereka pun membunyikan klakson menandakan kehadirannya.
“Ma, Mario berangkat dulu ya. Alan udah
dateng tuh.” Mario beranjak dari tempat duduknya lalu mencium pipi mamanya.
“Iya, hati-hati ya. Pulangnya jangan
lama-lama.”
“Beres, Ma..” Mario melengos pergi
melewati bangku Markus, seakan tak ada orang di sana.
Mamanya hanya menghela nafas melihat
kelakuan Mario. “Sampai kapan kalian mau musuhan begitu? Kalian itu saudara
kandung. Nggak baik kalo terus-terusan berantem.”
“Sampai dia dewasa, Ma. Dia belum
cukup dewasa buat ngendaliin emosinya.”
“Seharusnya kamu juga ngajarin dia
gimana caranya jadi dewasa, bukannya malah ngeladenin setiap omongan pedasnya.”
“Biar dia belajar sendiri aja, Ma. Aku
berangkat dulu ya, Ma. Ntar telat.” Markus menghabiskan susunya dan menghampiri
mamanya lalu mencium kedua pipi Mamanya.
“Iya, hati-hati ya. Jangan keluyuran.”
“Iya, Ma.”
Markus mengendarai motornya dengan
kecepatan sedang. Karena jam masih menunjukkan pukul setengah tujuh, jalanan
mulai macet. Sekarang Markus duduk di bangku kuliah jurusan kedokteran semester
kedua. Jarak kampus dari rumahnya hanya membutuhkan waktu setengah jam. Markus masih
memikirkan perkataan mamanya di meja makan tadi. Rupanya dia juga tidak betah
selalu bertengkar dengan Mario. Selama ini dia selalu menganggap kata-kata
kasar Mario hanyalah perasaan kesal yang sementara. Karena dia pun tak pernah
benar-benar membenci Mario. Bagaimanapun juga, Mario adalah adik kesayangannya.
Dulu, sikap Mario tak pernah sekasar itu pada dirinya. Tapi belakangan ini, dia
lebih sering memperbesar masalah dengannya.
Jadi, Markus hanya bisa membalas
kata-kata Mario dengan sindiran ataupun ungkapan-ungkapan yang menyiratkan tak
kepeduliannya terhadap omongan yang di lontarkan Mario. Padahal sebenarnya dia
merasa sangat terluka jika Mario mengucapkan kalimat makian yang berujung
dengan menginginkan kematiannya. Dia tidak habis pikir, apa sih yang membuat
Mario begitu membenci dirinya.
* * *
“Kenapa lo ga bareng aja sama abang
lo?” Alan yang sedang mengendarai motor membuka pembicaraan.
“Yaa, males aja. Jijik gue
deket-deket dia.”
“Lo kenapa sih? Kayaknya anti banget
sama si Markus. Padahal dia abang kandung lo. Udah kayak virus aja dia lo
anggep.” Kata Alan geleng-geleng kepala, heran dengan sikap Mario.
“Bodo amat. Yang penting gue jijik.”
Alan
hanya mengangkat bahu. Tak mau terlalu ikut campur. Mario pun ikut diam, dia
sebenarnya pun heran dengan sikapnya sendiri. Karena dulu dia sangat menyayangi
abangnya itu. Dia selalu meniru apapun yang di
lakukan abangnya. Dia juga minta diajarkan ini-itu dengan Markus. Tapi semenjak
dia mengetahui bahwa Alina, wanita yang ditaksirnya sejak SMP menyukai Markus,
dia pun mulai membenci Markus. Dia selalu berusaha menarik perhatian Alina,
tapi Alina malah mengabaikannya dan malah terus bertanya tentang Markus. Barulah
Mario sadar bahwa Alina menyukai Markus.
Sebenarnya
Markus tak pernah mengetahui bahwa Alina suka padanya, karena Mario takkan
pernah sudi menyampaikan segala macam salam, surat atau kado-kado yang
dititipkan Alina padanya untuk Markus. Dia selalu menyimpan semua kado-kado dan
surat-surat itu di dalam kotak yang ada di dalam lemari pakaiannya.
Dan
semenjak saat itulah Mario selalu mengucapkan kata-kata bahwa lebih baik Markus mati saja. Karena menurutnya,
jika Markus tak ada maka Alina akan berpaling padanya. Meski ia tak pernah
benar-benar mengharapkan kematian Markus, tapi entah mengapa dia tidak bisa
menahan lidahnya untuk tidak mengatakan kalimat beracun itu.
* * *
Mario sedang
bermain basket di lapangan yang berada tidak jauh dari taman kompleks di
sekitar rumahnya. Bila sedang tidak ada kegiatan dia akan pergi bermain basket
sendirian. Dulu dia sering bermain dengan Markus, tapi karena perasaan
pribadinya dia berhenti mengajak Markus bermain bersama. Saat shoot-an nya
meleset dari ring dan memantul ke papan ring, bola itu pun terlempar ke arah
seseorang. Dan orang tersebut berhasil menangkapnya sehingga gagal mengenai
wajah mulusnya. Orang itu ternyata Markus. Tapi ada yang berbeda dari
penampilannya. Bukan pakaiannya. Tapi wajahnya. Wajahnya terlihat pucat dan
kaku.
Mario mendengus
kesal melihat siapa yang menangkap bolanya. Semangat melanjutkan permainannya pun
musnah seketika. Dia mendekati Markus, dan mengulurkan tangannya tanda meminta
kembali bolanya.
“Siniin bola
gue.” Katanya diiringi pandangan sinis.
“Kenapa udahan? Takut
lo ngelawan gue?” Tanya Markus sekaligus
menantang.
“Siapa yang
takut?!! Gue Cuma ga sudi main sama orang kayak lo.”
“Yaudah, kalo ga
takut, kenapa ga mau ngelawan gue?”
“Gu-e ng-gak
SU-DI! Pergi lo! Mati aja lo sana!” Ucap Mario dengan penekanan di setiap
kata-katanya.
Markus terdiam
sesaat. Lalu dia men-dribel bola nya
ke arah ring, dan memasukkannya ke dalam ring dengan mulus. Kemudian berbalik
ke arah Mario sambil menangkap kembali bolanya.
“Gue tantang lo
one by one. Kalo gue menang, lo harus kasih penjelasan ke gue kenapa lo benci
banget sama gue. Kalo gue kalah, gue bakal berhenti muncul dihadapan lo.”
Markus mengucapkannya dengan nada serius dan menatap ke arah Mario dengan
pandangan meyakinkan.
Mario terhenyak.
Dia menelan ludah. Apa maksud perkataan Markus? Jika dia kalah, dia tidak akan
muncul lagi dihadapannya? Apa maksudnya? Apa dia akan pindah rumah? Pindah ke
luar kota? Atau apa? Dia bingung namun tak mau kelihatan perduli. Lalu dia mengangguk
menyetujui.
Permainan pun
dimulai. Mario dan Markus adalah pria-pria yang jago dalam bidang olahraga. Terutama
basket. Mereka dengan mudah men-dribel
bola dan kemudian menembaknya tepat ke arah ring dengan mulus. Yang menjadi
kesulitan adalah cara merebut bola itu dari lawannya masing-masing. Skor sudah
menunjukkan angka 19-14, Markus yang memimpin. Tentu saja, Markus lah yang
pertama kali bisa bermain basket, dan mengajarkan Mario setelahnya.
Mario kewalahan
mendapatkan bola itu dari Markus. Entah mengapa tampaknya Markus serius sekali
ingin memenangkan permainan ini. Hingga akhirnya skor menunjukkan angka 22-18. Permainan
dimenangkan oleh Markus. Mario kelelahan dan seakan kehabisan nafas. Markus tak
kalah lelahnya. Mereka memutuskan untuk membeli minuman pada penjual di pinggir
lapangan.
Setelah menghabiskan
minuman mereka masing-masing, Markus kembali menatap adiknya serius.
“Jadi, apa
jawaban lo?” Markus menatap adiknya lekat-lekat.
“Lo pengen
banget tau alesan gue?” Kata Mario acuh tak acuh. Markus hanya mengangguk.
Mario menghela
nafas. Mungkin memang sudah waktunya Markus tahu dasar dari semua kekesalannya
selama ini.
“Lo tahu kan gue
suka sama Alina sejak SMP?” Markus mengangguk dua kali.
“Lo tahu kenapa
sampe saat ini gue ga jadian sama dia?” Markus menggeleng, masih penasaran ke
arah mana pembicaraan ini.
“Itu gara-gara
LO! Alina sukanya sama lo. Dan bukan gue! Tiap gue deketin dia, dia cuma
nganggep gue angin lalu. Dan selalu bersemangat tiap kali ngomongin elo! Tiap ketemu
gue, dia selalu nitip salam buat lo. Dia juga kalo nyariin gue Cuma buat
nitipin surat cinta sama kado buat lo. Dan itu terjadi nggak Cuma sekali dua
kali. Tapi ber-kali-kali!” Mario mendengus kesal, menarik nafas untuk
melanjutkan kata-katanya. Sedangkan Markus hanya terdiam, berusaha mencernah
setiap kalimat yang terlontar dari mulut adiknya itu.
“Tapi gue ga
pernah nyampein surat-surat atau kado-kado itu ke lo. Karena gue ga pengen ntar
lo malah suka sama dia terus jadian sama dia. Gue juga ngarep biar dia berhenti
ngirimin lo surat sama kado setelah tau lo nggak ngerespon sama sekali. Tapi nyatanya,
dia masih aja rajin nitipin ke gue. Makanya gue selalu ngarepin biar lo itu nggak
usah ada aja, biar nggak ada orang lain yang dilirik sama Alina selain gue.”
Mario menyelesaikan kalimatnya dengan memandang Markus dengan tatapan “Puas?”
“Jadi cuma gara-gara
itu?” Tanya Markus setelah terdiam beberapa saat.
“He’eh.” Jawab
Mario singkat.
“Ckck. Pikiran lo
sempit banget sih! Ga mungkin lah gue suka sama orang yang disukain adek gue
sendiri. Lagian Alina udah gue anggep kayak adek sendiri. Sama kayak lo. Picik banget
otak lo mikir gue bakalan ngambil dia dari lo.” Markus menggeleng-geleng heran.
Mario menatap
Markus tak percaya. Benarkah yang dikatakan Markus? Dia tak pernah berniat
mengambil orang yang disukainya? Benarkah begitu? Kalau benar, betapa bodoh
dirinya selama ini. Membenci kakaknya hanya karena pikirannya yang tidak
beralasan. Kemudian dia mendekati abangnya itu dan memeluknya erat.
“Maafin gue,
bang. Gue udah mikir yang nggak-nggak tanpa tahu pendapat lo. Gue terlalu
egois, gue ga pernah ngasih tau lo alesan gue selalu ngomong kasar sama lo,
padahal lo ga seperti apa yang gue sangka selama ini. Gue terlalu mandang
rendah rasa persaudaraan lo ke gue. Gue dosa besar sama lo, bang. Maafin gue.”
Mario memeluk Markus semakin erat, berusaha mati-matian menahan air matanya
agar tak meluncur dari kelopak matanya. Ia tak ingin terlihat cengeng dihadapan
abangnya.
“Iya udah,
gapapa kok. Gue ngerti perasaan lo. Gue cuma pengen tahu aja alesan lo
ngehindarin gue selama ini. Dan sekarang gue udah tahu. Lo ga perlu kuatir
lagi, karena gue ga bakal jadi alesan buat Alisa nolak lo.” Kata Markus sambil
menepuk-nepuk punggung Mario.
“Maksud lo apa?”
Kata Mario sambil melepaskan pelukannya. Dahinya berkerut-kerut. Sejak tadi
abangnya ini selalu saja mengatakan bahwa dia akan pergi dan semacamnya.
“Karena gue
bakal pergi jauh. Dan ga bisa nemenin lo sama nyokab lagi. Lo jagain dia ya,
jangan bikin dia marah sama sedih mulu. Janji lo sama gue?”
“I... Iya..
Tapi, lo mau kemana emang?” Tanya Mario dengan nada gemetar.
“Ntar lo juga
tahu. Udah sore nih, pulang yuk.” Ajak Markus sambil merangkul pundak Mario. Entah
mengapa, Mario merasa tangan Markus begitu dingin. Dingin sedingin es.
* * *
Mario hampir sampai di rumah, ia
berjalan lebih dulu karena merasa gerah dan lapar. Dia sudah tidak sabar ingin
sampai ke rumah. Namun, saat berada di di depan seorang tetangganya yang
berjarak dua rumah dari rumahnya, dia mendadak berhenti. Tubuhnya kaku. Tenggorokannya
tercekat. Matanya nyalang menatap ke arah bendera kuning yang berada di depan
pagar rumahnya. Dia mencegat salah seorang yang baru saja melewatinya,
tampaknya orang itu baru saja dari rumahnya.
“Si.. siapa... Siapa yang....
ninggal, Bu?” Tanya Mario terbata-bata. Seakan tak yakin dengan pertanyaannya
sendiri.
“Yang tabah ya, Nak Rio. Abang kamu,
Markus, dia mengalami kecelakaan sepulang dari kampus. Dan meninggal di tempat.
Mayatnya baru saja sampai. Temanilah mamamu, dia sangat histeris tadi.” Ibu itu
menepuk-nepuk punggung Mario pelan lalu melanjutkan perjalanannya.
Mario masih terdiam di tempat. Kakinya
terasa kaku. Tak bisa bergerak sedikit pun. Lalu dia berusaha sekuat tenaga
membalikkan badannya. Dia menoleh ke belakang. Tak ada siapapun. Tak ada
Markus. Benar-benar tak ada. Padahal ia yakin sekali, sepuluh menit yang lalu
Markus masih berjalan di belakangnya.
Markus berlari ke arah rumahnya. Dan
sesampainya di pintu rumah, dia melihat mamanya menjerit histeris melihat anak
sulungnya yang terbujur kaku di dalam peti. Mario berjalan perlahan ke arah
mamanya, langkahnya sangat pelan dan tidak bertenaga. Kakinya bergetar hebat
serasa ingin jatuh. Dan akhirnya ia terjatuh di dekat mamanya. Ia menatap
kosong ke arah mayat abangnya, Markus.
Apa-apaan ini? Baru tadi gue main
basket sama lo bang! Baru tadi gue baikan sama lo! Barusan juga gue minta maaf
sama lo! Lo menang bang! Lo menang! Lo ga perlu pergi dari hadapan gue!! Gue
udah ngebayar kekalahan gue. Lo ga perlu bayar kekalahan lo karena lo menang!! Mario
menangis sejadi-jadinya. Semua perasaan bersalahnya sejak pengakuan tadi tumpah
saat itu juga.
Kenapa lo ninggalin gue, bang! Kenapa
lo tega bikin mama nangis! Mario terus memaki dalam hatinya. Ia tak mengucapkan
apa-apa selain menangis. Tubuhnya bergetar hebat menandakan tangisan yang
tumpah merupakan penyesalan dan rasa kehilangan yang begitu dalam. Ia tidak
menyangka perkataan kasarnya selama ini akan menjadi kenyataan. Ia sama sekali
tak benar-benar menginginkan abang satu-satunya ini mati. Andai saja ia tahu
bahwa semua perkataannya berakibat seperti ini, ia tak akan pernah mengucapkan
kalimat beracunnya itu.
“Maafin gue, bang. Maafin gue.”
Mario memeluk mayat Markus untuk yang terakhir kalinya. Mama Mario pingsan
setelah menangis dengan histeris dan masih shock dengan keadaan putra
sulungnya.
* * *
“Gapapa, Yo. Ini bukan salah lo. Mungkin
udah saatnya gue menghadap sama yang di atas. Gue datengin lo karena gue butuh
penjelasan dari lo sebelum gue pergi. Sekarang gue udah tahu semuanya dan gue
bisa pergi dengan tenang. Tepatin janji lo, Yo. Jaga diri lo baik-baik dan jaga
mama.” Mario mendengar suara Markus tetapi tak menemukan
keberadaannya. Setelah suara itu tak terdengar lagi, dia kembali menangis.
Karya : Lidya Christin Silalahi
Sumber : http://martabakmietelor.blogspot.com/2013/07/berujung-penyesalan-maaf.html
Karya : Lidya Christin Silalahi
Sumber : http://martabakmietelor.blogspot.com/2013/07/berujung-penyesalan-maaf.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar