Jumat, 25 Oktober 2013

Rhyme in Peace

Hujan turun dengan deras di luar kelas. Bima melirik jam tangannya, jam masih menunjukkan pukul 08.45 dan masih beberapa menit lagi pelajaran Biologi akan berakhir. Posisi tempat Bima duduk cukup strategis karena berada dekat dengan jendela kaca, sehingga memungkinkan dirinya untuk memandang ke arah luar kelas. Tepatnya memandangi hujan yang turun. Bima sudah tidak berselera memperhatikan guru di depan kelas yang tengah membahas tentang animalia itu. Seluruh perhatiannya tercurah pada rintik-rintik hujan yang membasahi halaman sekolah, dan juga air hujan yang mengalir di kaca jendela tepat disebelahnya.
“Udah lama nih, nggak main ujan,” batin Bima. Tapi dia sama sekali tidak berminat melakukannya, karena dia merasa seorang laki-laki kelas dua SMA sudah tidak pantas lagi bermain hujan seperti anak kecil.
Entah sudah berapa lama Bima menaruh perhatiannya pada hujan yang turun di luar, karena perhatian Bima kini kembali ke ruangan yang terdengar riuh. Bel tanda pelajaran Biologi berakhir sudah berbunyi, dan itu artinya saat istirahat pertama tiba. Bima hanya memandangi satu per satu temannya yang tengah sibuk membereskan buku-buku dan perlengkapan belajar mereka yang berada di atas meja. Bima hanya memperhatikan. Dan tidak ikut melakukan hal yang sama dengan yang mereka lakukan.
Tiba-tiba ada yang menepuk bahu Bima dari belakang, “Bim, ke kantin yok. Laper kan?” kata Deny sambil memegangi perutnya.
Bima tersenyum dan bangkit dari tempat duduknya, kemudian di rangkulnya Deny dan mereka berjalan ke luar kelas menuju ke kantin. Kenapa nih anak? Tiba-tiba sok manis gini, pake rangkul-rangkulan segala lagi, Denny membatin. Tapi ia sedang tak ingin mempermasalahkannya, baginya saat ini lebih baik dia mengisi perutnya yang sejak tadi meronta-ronta minta diisi.
Sekembalinya Bima dan yang lainnya ke kelas, tiba-tiba Bima mengangkat suara meminta perhatian para penghuni kelas, “Eh, sambil nungguin guru dateng, kita foto-foto aja yok?” Kata Bima dengan cengiran yang lebar.
“Hah? Ngapain?”
“Ogah ah, masih kenyang nih, males kasih ekspresi.”
“Kamu kok tiba-tiba jadi alay gitu sih, pengen foto-foto?”
“Kamu foto-foto sendiri aja, Bim.”
Dan masih banyak lagi seruan-seruan yang menyatakan penolakan diadakannya berfoto bersama saat ini.
“Kalian kok pada gitu, sih? Emang nggak boleh kalo ngajakin foto bareng?” Kata Bima dengan wajah yang dibuat-buat seperti merajuk.
“Boleh sih, tapi kok tumben-tumbenan kamu yang ngajakin. Biasanya kamu paling males kalo diajakin foto bareng.” Ujar Sari menyatakan keheranannya.
“Yah, makanya itu, sekarang lagi pengen nih. Buruan, yuk? Ntar Pak Burhan keburu dateng.”
Dengan ogan-ogahan mereka menuruti permintaan si Bima. Bima meminta Hendra untuk mengambil foto mereka dengan handphone miliknya. Dan karena mereka memang sedang tidak berminat untuk berfoto, jadilah mereka hanya berekspresi seadanya saja, hanya Bima yang terus-terusan membuat ekspresi-ekspresi lucu. Setelah mendapatkan jepretan yang cukup banyak, Bima tersenyum puas ketika menerima handphone nya dari Hendra.
Dia kembali ke bangkunya, lalu melihat hasil jepretan Hendra. Pengambilan gambarnya cukup bagus, hanya saja objek dalam foto-foto tersebut terlihat begitu tidak bersemangat. Tapi, Bima tetap senang. Baru kali ini dia berfoto dengan ekspresi-ekspresi konyol seperti itu.
Tidak lama kemudian, Pak Burhan masuk ke kelas. Bima segera menyimpan handphone nya kedalam saku celananya. “Maaf anak-anak, Bapak terlambat. Tadi Bapak kehujanan, jadi harus ganti pakaian dulu.”
“Iya, Paaak..” Semua murid menjawab serentak.
Bima memandang ke luar jendela, benar saja hujan masih turun dengan derasnya.
“Sekarang keluarkan buku kalian,” Pak Bima memulai pelajaran. Kali ini Bima tidak lagi tak mengacuhkan guru di depan kelas. Dia dan yang lainnya mengikuti pelajaran dengan tenang.
* * *
Bel pulang sekolah berbunyi.
“Yah, masih ujan aja nih. Gimana mau pulang?” Kata Dimas sambil menjulurkan tangannya ke arah hujan yang mengalir dari atas genteng.
“Iya nih, dari pagi gak berenti-berenti juga.” Ike menyetujui.
“Seenggaknya nggak deras kayak tadi pagi, deh.” Kata Bima sambil memakai jaketnya.
“Lho, kamu mau langsung pulang, Bim?” Tanya Indah.
“Iya, Ndah. Aku pengen cepet-cepet pulang, capek. Pengen tidur.” Jawab Bima tidak sepenuhnya jujur. Karena alasan utamanya ingin pulang cepat dalah karena dia ingin merasakan turunnya hujan yang sedari pagi tak kunjung reda.
“Kamu yakin? Tunggu reda aja deh.” Kata Ike sedikit khawatir.
“Iya nggak apa-apa kok. Biar bisa main ujan sekalian. Hehe...” Jawab Bima jujur.
“Yaudah, deh. Hati-hati dijalan ya..” Ike melambaikan tangan diikuti Indah dan yang lainnya yang masih menunggu hujan reda.
“Hati-hati, bro.” Kata Deny sambil menepuk bahu Bima.
“Beres... Duluan ya, semua.” Teman-teman Bima mengangguk.
Bima berjalan cepat menuju parkiran, tempat motornya mejeng. Setelah memakai helm, Bima mulai melajukan motornya. Dia mengendarai motor dengan kecepatan yang pelan. Entah mengapa dia begitu menikmati hujan yang membasahi bahu dan punggungnya. Tidak banyak kendaraan yang berada di jalanan. Mungkin orang-orang malas keluar rumah dan basah-basahan, berbeda dengan Bima yang sedang haus akan air hujan membasahi tubuhnya.
Bima mengangkat kaca helm-nya ke atas. Ketika Bima memejamkan matanya sambil menengadahkan kepalanya ke atas untuk merasakan air hujan menetes di wajahnya, Bima tidak tahu bahwa motornya menengah di jalan raya tersebut.
 Terdengar bunyi klakson yang panjang dari arah depan Bima, rupanya kini motor Bima tengah melaju di jalur kendaraan yang berlawanan arah dengannya. Dan tidak jauh di depannya ada sebuah mobil truk yang melaju dengan kecepatan kencang. Bima yang terlambat menyadari bahwa dirinya dalam bahaya ingin menghindar, tetapi...
BRAAAAAKKK!!!
Bima tidak sempat menghindar. Bunyi dentuman yang terdengar sangat keras tadi, berasal dari motor Bima yang terbanting. Badan Bima terlempar begitu jauh. Darah segar mengucur deras dari kepala Bima. Orang-orang di sekitar tempat kejadian langsung mengerubuni Bima dan segera menghubungi ambulance. Bima masih setengah sadar ketika dia bisa merasakan hujan rintik-rintik yang membasahi wajahnya, sampai sebelum matanya tertutup dia masih tersenyum.
* * *
Orang tua Bima, Ike, Deny, Hendra, Indah, dan teman-teman sekelas Bima yang lainnya tengah menunggu di ruang tunggu Rumah Sakit Bintara. Ketika mendapat kabar dari warga sekitar tempat terjadinya kecelakaan Bima, mereka segera berangkat ke rumah sakit. Setibanya mereka di sana, Bima sudah berada di ruang operasi.
Hampir dua jam mereka menunggu. Tapi operasi Bima tak kunjung berakhir. Rasanya mereka sudah tak tahan lagi ingin menangis karena belum juga mendapat kabar tentang keadaan Bima.
Tidak berapa lama kemudian, dari ruang operasi keluarlah dokter yang menangani operasi Bima. Kedua orang tua Bima segera mendekati dokter tersebut. Ike dan yang lainnya ikut bangkit berdiri.
“Gimana, Dok? Anak saya baik-baik aja, kan?” Tanya Mama Bima sambil mengusap air matanya.
“Syukurlah, operasinya berjalan lancar. Tapi dia belum sadarkan diri. Kita tunggu saja sampai pengaruh biusnya habis.”
“Baiklah, Dok. Terima kasih banyak, apa kami boleh masuk untuk melihat keadaannya?”
“Ya, silakan. Tapi, yang diperbolehkan masuk maksimal dua orang.”
Kedua orang tua Bima mengangguk paham dan sepeninggal dokter yang bernama dr. Reza itu mereka pun masuk ke dalam ruang operasi. Mama Bima kembali menangis ketika melihat anaknya tengah tak sadarkan diri dengan perban yang memerah karena darah di kepala anak semata wayangnya itu.
“Bima, kamu kenapa sampai begini, Nak? Jangan bikin Mama sedih gini dong.” Air mata Mama Bima menetes lagi karena tahu anaknya tidak bisa menjawabnya.
Papa Bima mengusap-usap bahu isterinya, berusaha memberi ketenangan dan kekuatan. Sebenarnya dia juga ingin menangis melihat kondisi anak lelaki satu-satunya dengan keadaan seperti itu. Tapi ia tahu, ia harus tetap tenang agar isterinya tidak semakin bersedih. Cepatlah sembuh, Nak. Batin Papa Bima.
* * *
Akhirnya Ike dan teman-temannya yang lain bisa melihat kondisi Bima setelah Bima dipindahkan ke ruang rawat. Kedua orangtua Bima sedang pulang ke rumah untuk berganti pakaian dan mengambil beberapa barang keperluan untuk Bima. Bima masih tak sadarkan diri. Mereka hanya memandangi Bima yang sedang ‘tidur’ dengan napas teratur itu dalam diam.
“Kamu sih, Bim. Dibilangin ngeyel.” Kata Ike dengan nada bergetar. Padahal, tadi ia sudah meminta Bima untuk menunggu hujan reda, tetapi Bima tak menurutinya.
“Coba aja tadi kita tetap nahan dia biar nggak pulang duluan, pasti kejadiannya gak bakalan gini.” Sesal Indah.
“Udalah, gak usah pada sedih gitu. Kita doain aja, semoga Bima cepet sadarkan diri dan bisa sekolah lagi.” Kata Deny yang berusaha tegar. Sebenarnya dialah yang paling sedih. Tapi dia tidak ingin menyalahkan Bima atau menyalahkan diri sendiri seperti yang dilakukan Indah dan Ike. Yang diinginkannya hanyalah kesembuhan Bima.
Teman-teman yang lainnya mengangguk menyetujui ucapan Deny. Beberapa waktu kemudian, pintu ruangan terbuka. Mama dan Papa Bima sudah kembali.
“Anak-anak, sebaiknya kalian pulang dulu, ya. Ini udah hampir malam, nanti orangtua kalian khawatir.”
“Iya, tante. Kami pulang dulu, ya. Besok kami dateng lagi, buat jenguk Bima.” Pamit Ike mewakili teman-temannya yang lain.
Mama Bima mengangguk pelan sambil tersenyum, “Iya, kalian hati-hati, ya di jalan. Makasih juga udah bantu jagain Bima.
“Sama-sama, Tante..” Saut mereka semua serempak sambil tersenyum seakan berusaha memberi kekuatan bagi seorang Ibu tersebut.
Mau tak mau Mama Bima tersenyum haru, Papa Bima juga tersenyum melihat ketegaran teman-teman Bima itu. Setelah menyalami kedua orangtua Bima, mereka semua pulang ke rumah masing-masing.
* * *
07.30 WIB.
Anak-anak kelas XI IPA 1 begitu tenang mengerjakan tugas yang diberikan Pak Burhan. Mereka sibuk dengan pikiran mereka masing-masing, sehingga tak berminat menimbulkan suara-suara berisik. Entah itu pikiran mengenai soal-soal yang ada dihadapan mereka, atau pikiran tentang Bima yang terbaring di rumah sakit.
Sudah seminggu sejak terjadinya kecelakaan yang menyebabkan Bima tak sadarkan diri selama itu. Dan mereka benar-benar merasa kesepian. Karena Bima merupakan orang yang begitu humoris, tak jarang dia mengeluarkan celetukan-celetukan berupa lelucon di tengah keheningan yang menyelimuti kelas mereka. Tapi, sekarang mengingat Bima yang masih terbaring tak sadarkan diri di rumah sakit membuat mereka kalut dan tidak bersemangat.
Di waktu yang sama, dokter memberi kabar kepada kedua orangtua Bima bahwa Bima mengalami penggumpalan darah di otaknya. Dokter juga tidak tahu mengapa penggumpalan tersebut baru terjadi seminggu setelah terjadinya kecelakaan. Atau mereka yang terlambat menyadari. Entahlah, yang jelas informasi itu merupakan sesuatu awal yang buruk bagi keadaan Bima. Hal itu membuat kedua orangtua Bima semakin sedih dan sakit. Hati mereka terasa begitu sakit melihat putra kesayangan mereka tengah berjuang menyelamatkan dirinya sendiri, sementara mereka tak bisa melakukan apa-apa.
09.05 WIB.
Tinggal sepuluh menit lagi menjelang istirahat pertama. Guru telah meninggalkan ruang kelas, tetapi belum mengijinkan para siswanya untuk beristirahat. Jadilah sambil menunggu waktu istirahat tiba mereka mengobrol, tapi dengan suara yang pelan.
Hendra, teman sebangku Bima diam saja. Sudah seminggu ini dia tidak banyak bicara, karena satu-satunya orang yang nyambung ketika mengobrol dengannya hanyalah Bima, dan sekarang Bima tidak ada di sampingnya.
Ike yang duduk dibelakang bangku Bima juga hanya bisa memandangi bangku yang biasanya ditempati Bima. Biasanya di saat seperti ini, Bima akan mengajaknya ngobrol. Tapi tidak saat ini. Ketika sedang asyik memandangi tempat duduk Bima, tiba-tiba Ike mengendus-ngenduskan hidungnya. Dia merasa seperti mencium sesuatu yang terasa asing baginya di ruang kelas itu.
“Eh, eh. Kalian pada nyium gak?”
“Nyium apa, Ke?” Deny yang duduk di belakang Ike mengerutkan kening.
“Ini lho, baunya kayak apa, ya?” Ike masih terus mengendusi bau tersebut, berusaha mengingat bau apa yang diciumnya itu.
“Mana? Bau apa sih?” Tanya Indah penasaran. Dia meninggalkan tempat duduknya dan menuju ke arah bangku Ike. “Iya, ya. Baunya kayak.... Kayak bau infus, gitu.” Tukas Indah setelah mengendus-ngendus seperti yang dilakukan Ike.
“IYA! Bau cairan infus. Tapi, kok di kelas ada bau beginian, ya?” Ike yang menyetujui dugaan Indah, mau tak mau merasa heran.
“Hidung kalian lagi bermasalah kali? Orang gak ada bau apa-apa tuh.” Ujar Deny.
“Ih.... Beneran tauuu. Ini emang bau cairan infus.” Kata Ike yang tak terima dibilang hidungnya bermasalah.
Anak-anak yang lain hanya mengangkat bahu tidak peduli. Tak lama kemudian bel berbunyi, segera saja mereka meninggalkan kelas. Ike juga keluar kelas menuju kantin, tapi masih dengan kening berkerut. Dia masih memikirkan kenapa ada bau itu di dalam kelas.
11.13 WIB.
Deny menerima SMS dari Mama Bima. Ketika Deny membuka pesan tersebut dan membacanya, dia merasa seolah napasnya tiba-tiba terasa sesak. Bahkan menelan ludah pun, dia tak mampu.
Deny.. Bima sudah pergi meninggalkan kita semua. Mohon doanya, ya agar Bima pergi dengan tenang.
DEG!!
Pesan singkat itu seolah menghantam tubuh Deny sehingga ia yang tadinya sedang berdiri seketika limbung dan jatuh terduduk di lantai. Hendra yang lebih dulu menyadari Deny terjatuh segera mendekati Deny dan berseru dengan kencang, “Kamu kenapa, Den?”
“I... Ini... SMS.. Mama.. Bim.. Bim.. Bima..” Deny menjawab dengan terbata-bata. Ingin menyebut nama Bima saja, tenggorokannya terasa tercekat.
Hendra yang tak sabar ingin tahu apa yang membuat Deny seperti itu segera mengambil handphone Deny dari genggaman sang pemilik. Dan ketika Hendra melihat apa yang tertera di layar handphone tersebut, matanya membelalak tak percaya. Kini seluruh penghuni kelas tengah menatap ke arah dua lelaki yang sedang terduduk di lantai itu. Sebelum ada yang sempat bertanya, Hendra menjawab keheranan mereka semua.
“Temen-temen.... Bima udah pergi.” Ucap Hendra dengan susah payah.
“APA!!!!”
“Ng... Nggak mungkin!”
Mereka yang segera memahami ungkapan ‘pergi’ dari mulut Hendra itu berteriak tertahan. Ada yang menggeleng-gelengkan kepalanya tanda tak percaya, ada yang berteriak keras-keras, dan ada juga yang terdiam beberapa saat sebelum mereka semua menangis. Mereka tidak menyangka bahwa Bima akan pergi secepat itu meninggalkan mereka. Bima yang selama ini menjadi pusat perhatian di kelas mereka karena ketampanan, kepintaran dan keramahannya yang seolah dalam satu paket lengkap itu kini telah pergi menghadap yang Kuasa.
* * *
Pemakaman Bima diadakan sore harinya. Semua teman sekelas Bima, guru-guru dan teman-teman lain yang juga mengenal Bima ikut menghadiri penghormatan terakhir bagi Bima. Isak tangis Mama Bima terdengar begitu memilukan di telinga teman-teman Bima, sehingga mereka ikut menangis. Bahkan Papa Bima yang selalu tampak tegar pun meneteskan air matanya.
“Pergilah, Nak jika dengan begitu kamu akan lebih tenang.” Papa Bima berucap pelan.
“Bim, kamu baik-baik di sana, ya. Jangan lupain kita-kita yang ada disini.” Bisik Deny pelan.
“Kami ikhlasin kamu, Bim. Kamu yang tenang, ya disana. Pasti kamu udah gak sakit lagi kan? Kalau dengan kepergian kamu bisa ngilangin rasa sakit kamu, kami semua ikhlas ditinggal sama kamu, Bim.” Ike mengucapkan pesan terakhirnya untuk Bima dengan air mata yang mengalir di pipinya.
Sedangkan teman-teman yang lainnya masih tertunduk pilu. Mereka sudah merelakan kepergian Bima. Karena mereka tahu, kita sebagai makhluk ciptaan Tuhan, suatu saat akan kembali lagi kepada Sang Pencipta. Hanya saja mereka masih tak menyangka Bima akan pergi secepat itu. Andai saja mereka tahu kalau sebelum kecelakaan itu terjadi, permintaan Bima berfoto bersama adalah permintaan terakhir, pasti akan mereka kabulkan dengan senang hati. Tapi sayang, sudah terlambat untuk menyadarinya.
Oh, jadi bau cairan infus itu adalah salam perpisahan dari kamu ya, Bim? Kami terlalu bodoh karena gak peka sama salam kamu itu. Maafin kami, Bim. Selamat jalan. Selamat tinggal. Air mata Ike kembali mengalir.
* * *
R.I.P (Rhyme In Peace) / Selamat Tinggal
Bondan Prakoso & Fade 2 Black


Apa kata yang tepat untuk protes terhadap waktu
Rhyme style apa yang pas untuk demo sedih diriku
Air mataku sanggup katakan lebih banyak dari pada
Pesan yang disampaikan semua kata


Yoo yo capital A. N. double much respect fo ya
Kau Selalu karyakan beat untuk rima ber-lima
Meski jarak terbentang ambisi bukan halangannya
Roda dua F1Z menghempas debu bogor jakarta


Sahabat terbaik dalam mengejar mimpi
Teman terhebatku untuk dapat berdiri
Kawan yang tepat untuk sharing hal-hal kecil
Kuping yang pas untuk, untuk dengar rima Cypress Hill


Masih tergambar jelas alunan takdir
Kita lewati malam dengan sebotol beer
Bicara, tertawa, bertingkah semaunya
Sudah saatnya kau tenang di alam sana


Reff:


Hari-hari yang ’kan ku jalani kini semua ’kan terasa sunyi
Walau hampa pasti ku hadapi ku ucapkan slamat jalan

Slamat jalan teman, semoga kau tenang
Semua canda tawa bayangmu takkan pernah hilang
Dalam setiap langkah, kau slalu ada
Sampai kini ku tak percaya kau telah tiada


Yoo yo mungkin batu nisan pisahkan dunia kita
Namun ambisimu kan ku jaga slalu membara
Gapailah doa yang slalu kubaca
Menemani langkahmu menuju singgasana surga


Selamat tinggal tidur yang lelap
Mimpi yang indah selamat jalan
Selamat tinggal (we love you my brother you'
ll always in my heart)
Tidur yang lelap (even now and forever we'
ll always one blood)
Mimpi yang indah (hope God give you heaven, may God be with you)
Selamat jalan



Kami detik ini tanpa kau seperti minus one
Kami hisap king arthur untuk kau kawan
Kami minum ini hanya untukmu teman
Kau adalah milikNya dan kepadaNyalah kau kembali
Sampai bertemu brother di alam sana nanti, Rhyme In Peace



Karya      : Lidya Christin Silalahi
Sumber   : http://martabakmietelor.blogspot.com/2013/09/rhyme-in-peace.html

Tidak ada komentar: