Hujan turun
dengan deras di luar kelas. Bima melirik jam tangannya, jam masih menunjukkan
pukul 08.45 dan masih beberapa menit lagi pelajaran Biologi akan berakhir.
Posisi tempat Bima duduk cukup strategis karena berada dekat dengan jendela
kaca, sehingga memungkinkan dirinya untuk memandang ke arah luar kelas.
Tepatnya memandangi hujan yang turun. Bima sudah tidak berselera memperhatikan
guru di depan kelas yang tengah membahas tentang animalia itu. Seluruh
perhatiannya tercurah pada rintik-rintik hujan yang membasahi halaman sekolah,
dan juga air hujan yang mengalir di kaca jendela tepat disebelahnya.
“Udah lama nih,
nggak main ujan,” batin Bima. Tapi dia sama sekali tidak berminat melakukannya,
karena dia merasa seorang laki-laki kelas dua SMA sudah tidak pantas lagi
bermain hujan seperti anak kecil.
Entah sudah
berapa lama Bima menaruh perhatiannya pada hujan yang turun di luar, karena
perhatian Bima kini kembali ke ruangan yang terdengar riuh. Bel tanda pelajaran
Biologi berakhir sudah berbunyi, dan itu artinya saat istirahat pertama tiba.
Bima hanya memandangi satu per satu temannya yang tengah sibuk membereskan
buku-buku dan perlengkapan belajar mereka yang berada di atas meja. Bima hanya
memperhatikan. Dan tidak ikut melakukan hal yang sama dengan yang mereka
lakukan.
Tiba-tiba ada
yang menepuk bahu Bima dari belakang, “Bim, ke kantin yok. Laper kan?” kata
Deny sambil memegangi perutnya.
Bima tersenyum
dan bangkit dari tempat duduknya, kemudian di rangkulnya Deny dan mereka
berjalan ke luar kelas menuju ke kantin. Kenapa
nih anak? Tiba-tiba sok manis gini, pake rangkul-rangkulan segala lagi, Denny
membatin. Tapi ia sedang tak ingin mempermasalahkannya, baginya saat ini lebih
baik dia mengisi perutnya yang sejak tadi meronta-ronta minta diisi.
Sekembalinya
Bima dan yang lainnya ke kelas, tiba-tiba Bima mengangkat suara meminta
perhatian para penghuni kelas, “Eh, sambil nungguin guru dateng, kita foto-foto
aja yok?” Kata Bima dengan cengiran yang lebar.
“Hah? Ngapain?”
“Ogah ah, masih
kenyang nih, males kasih ekspresi.”
“Kamu kok
tiba-tiba jadi alay gitu sih, pengen foto-foto?”
“Kamu foto-foto
sendiri aja, Bim.”
Dan masih banyak
lagi seruan-seruan yang menyatakan penolakan diadakannya berfoto bersama saat
ini.
“Kalian kok pada
gitu, sih? Emang nggak boleh kalo ngajakin foto bareng?” Kata Bima dengan wajah
yang dibuat-buat seperti merajuk.
“Boleh sih, tapi
kok tumben-tumbenan kamu yang ngajakin. Biasanya kamu paling males kalo
diajakin foto bareng.” Ujar Sari menyatakan keheranannya.
“Yah, makanya
itu, sekarang lagi pengen nih. Buruan, yuk? Ntar Pak Burhan keburu dateng.”
Dengan
ogan-ogahan mereka menuruti permintaan si Bima. Bima meminta Hendra untuk
mengambil foto mereka dengan handphone miliknya. Dan karena mereka memang
sedang tidak berminat untuk berfoto, jadilah mereka hanya berekspresi seadanya
saja, hanya Bima yang terus-terusan membuat ekspresi-ekspresi lucu. Setelah
mendapatkan jepretan yang cukup banyak, Bima tersenyum puas ketika menerima
handphone nya dari Hendra.
Dia kembali ke
bangkunya, lalu melihat hasil jepretan Hendra. Pengambilan gambarnya cukup
bagus, hanya saja objek dalam foto-foto tersebut terlihat begitu tidak
bersemangat. Tapi, Bima tetap senang. Baru kali ini dia berfoto dengan
ekspresi-ekspresi konyol seperti itu.
Tidak lama
kemudian, Pak Burhan masuk ke kelas. Bima segera menyimpan handphone nya
kedalam saku celananya. “Maaf anak-anak, Bapak terlambat. Tadi Bapak kehujanan,
jadi harus ganti pakaian dulu.”
“Iya, Paaak..”
Semua murid menjawab serentak.
Bima memandang
ke luar jendela, benar saja hujan masih turun dengan derasnya.
“Sekarang
keluarkan buku kalian,” Pak Bima memulai pelajaran. Kali ini Bima tidak lagi
tak mengacuhkan guru di depan kelas. Dia dan yang lainnya mengikuti pelajaran
dengan tenang.
* * *
Bel pulang
sekolah berbunyi.
“Yah, masih ujan
aja nih. Gimana mau pulang?” Kata Dimas sambil menjulurkan tangannya ke arah
hujan yang mengalir dari atas genteng.
“Iya nih, dari
pagi gak berenti-berenti juga.” Ike menyetujui.
“Seenggaknya
nggak deras kayak tadi pagi, deh.” Kata Bima sambil memakai jaketnya.
“Lho, kamu mau
langsung pulang, Bim?” Tanya Indah.
“Iya, Ndah. Aku
pengen cepet-cepet pulang, capek. Pengen tidur.” Jawab Bima tidak sepenuhnya
jujur. Karena alasan utamanya ingin pulang cepat dalah karena dia ingin
merasakan turunnya hujan yang sedari pagi tak kunjung reda.
“Kamu yakin?
Tunggu reda aja deh.” Kata Ike sedikit khawatir.
“Iya nggak
apa-apa kok. Biar bisa main ujan sekalian. Hehe...” Jawab Bima jujur.
“Yaudah, deh.
Hati-hati dijalan ya..” Ike melambaikan tangan diikuti Indah dan yang lainnya
yang masih menunggu hujan reda.
“Hati-hati,
bro.” Kata Deny sambil menepuk bahu Bima.
“Beres... Duluan
ya, semua.” Teman-teman Bima mengangguk.
Bima berjalan
cepat menuju parkiran, tempat motornya mejeng. Setelah memakai helm, Bima mulai
melajukan motornya. Dia mengendarai motor dengan kecepatan yang pelan. Entah
mengapa dia begitu menikmati hujan yang membasahi bahu dan punggungnya. Tidak
banyak kendaraan yang berada di jalanan. Mungkin orang-orang malas keluar rumah
dan basah-basahan, berbeda dengan Bima yang sedang haus akan air hujan
membasahi tubuhnya.
Bima mengangkat
kaca helm-nya ke atas. Ketika Bima memejamkan matanya sambil menengadahkan
kepalanya ke atas untuk merasakan air hujan menetes di wajahnya, Bima tidak
tahu bahwa motornya menengah di jalan raya tersebut.
Terdengar bunyi klakson yang panjang dari arah
depan Bima, rupanya kini motor Bima tengah melaju di jalur kendaraan yang
berlawanan arah dengannya. Dan tidak jauh di depannya ada sebuah mobil truk yang
melaju dengan kecepatan kencang. Bima yang terlambat menyadari bahwa dirinya
dalam bahaya ingin menghindar, tetapi...
BRAAAAAKKK!!!
Bima tidak
sempat menghindar. Bunyi dentuman yang terdengar sangat keras tadi, berasal
dari motor Bima yang terbanting. Badan Bima terlempar begitu jauh. Darah segar mengucur
deras dari kepala Bima. Orang-orang di sekitar tempat kejadian langsung
mengerubuni Bima dan segera menghubungi ambulance. Bima masih setengah sadar
ketika dia bisa merasakan hujan rintik-rintik yang membasahi wajahnya, sampai
sebelum matanya tertutup dia masih tersenyum.
* * *
Orang tua Bima, Ike,
Deny, Hendra, Indah, dan teman-teman sekelas Bima yang lainnya tengah menunggu
di ruang tunggu Rumah Sakit Bintara. Ketika mendapat kabar dari warga sekitar
tempat terjadinya kecelakaan Bima, mereka segera berangkat ke rumah sakit. Setibanya
mereka di sana, Bima sudah berada di ruang operasi.
Hampir dua jam
mereka menunggu. Tapi operasi Bima tak kunjung berakhir. Rasanya mereka sudah
tak tahan lagi ingin menangis karena belum juga mendapat kabar tentang keadaan
Bima.
Tidak berapa
lama kemudian, dari ruang operasi keluarlah dokter yang menangani operasi Bima.
Kedua orang tua Bima segera mendekati dokter tersebut. Ike dan yang lainnya
ikut bangkit berdiri.
“Gimana, Dok?
Anak saya baik-baik aja, kan?” Tanya Mama Bima sambil mengusap air matanya.
“Syukurlah,
operasinya berjalan lancar. Tapi dia belum sadarkan diri. Kita tunggu saja
sampai pengaruh biusnya habis.”
“Baiklah, Dok.
Terima kasih banyak, apa kami boleh masuk untuk melihat keadaannya?”
“Ya, silakan.
Tapi, yang diperbolehkan masuk maksimal dua orang.”
Kedua orang tua
Bima mengangguk paham dan sepeninggal dokter yang bernama dr. Reza itu mereka
pun masuk ke dalam ruang operasi. Mama Bima kembali menangis ketika melihat
anaknya tengah tak sadarkan diri dengan perban yang memerah karena darah di
kepala anak semata wayangnya itu.
“Bima, kamu
kenapa sampai begini, Nak? Jangan bikin Mama sedih gini dong.” Air mata Mama
Bima menetes lagi karena tahu anaknya tidak bisa menjawabnya.
Papa Bima
mengusap-usap bahu isterinya, berusaha memberi ketenangan dan kekuatan. Sebenarnya
dia juga ingin menangis melihat kondisi anak lelaki satu-satunya dengan keadaan
seperti itu. Tapi ia tahu, ia harus tetap tenang agar isterinya tidak semakin
bersedih. Cepatlah sembuh, Nak. Batin
Papa Bima.
* * *
Akhirnya Ike dan
teman-temannya yang lain bisa melihat kondisi Bima setelah Bima dipindahkan ke
ruang rawat. Kedua orangtua Bima sedang pulang ke rumah untuk berganti pakaian
dan mengambil beberapa barang keperluan untuk Bima. Bima masih tak sadarkan
diri. Mereka hanya memandangi Bima yang sedang ‘tidur’ dengan napas teratur itu
dalam diam.
“Kamu sih, Bim. Dibilangin
ngeyel.” Kata Ike dengan nada bergetar. Padahal, tadi ia sudah meminta Bima
untuk menunggu hujan reda, tetapi Bima tak menurutinya.
“Coba aja tadi
kita tetap nahan dia biar nggak pulang duluan, pasti kejadiannya gak bakalan
gini.” Sesal Indah.
“Udalah, gak
usah pada sedih gitu. Kita doain aja, semoga Bima cepet sadarkan diri dan bisa
sekolah lagi.” Kata Deny yang berusaha tegar. Sebenarnya dialah yang paling
sedih. Tapi dia tidak ingin menyalahkan Bima atau menyalahkan diri sendiri seperti
yang dilakukan Indah dan Ike. Yang diinginkannya hanyalah kesembuhan Bima.
Teman-teman yang
lainnya mengangguk menyetujui ucapan Deny. Beberapa waktu kemudian, pintu
ruangan terbuka. Mama dan Papa Bima sudah kembali.
“Anak-anak,
sebaiknya kalian pulang dulu, ya. Ini udah hampir malam, nanti orangtua kalian
khawatir.”
“Iya, tante. Kami
pulang dulu, ya. Besok kami dateng lagi, buat jenguk Bima.” Pamit Ike mewakili
teman-temannya yang lain.
Mama Bima
mengangguk pelan sambil tersenyum, “Iya, kalian hati-hati, ya di jalan. Makasih
juga udah bantu jagain Bima.
“Sama-sama,
Tante..” Saut mereka semua serempak sambil tersenyum seakan berusaha memberi
kekuatan bagi seorang Ibu tersebut.
Mau tak mau Mama
Bima tersenyum haru, Papa Bima juga tersenyum melihat ketegaran teman-teman
Bima itu. Setelah menyalami kedua orangtua Bima, mereka semua pulang ke rumah
masing-masing.
* * *
07.30 WIB.
Anak-anak kelas
XI IPA 1 begitu tenang mengerjakan tugas yang diberikan Pak Burhan. Mereka sibuk
dengan pikiran mereka masing-masing, sehingga tak berminat menimbulkan
suara-suara berisik. Entah itu pikiran mengenai soal-soal yang ada dihadapan
mereka, atau pikiran tentang Bima yang terbaring di rumah sakit.
Sudah seminggu
sejak terjadinya kecelakaan yang menyebabkan Bima tak sadarkan diri selama itu.
Dan mereka benar-benar merasa kesepian. Karena Bima merupakan orang yang begitu
humoris, tak jarang dia mengeluarkan celetukan-celetukan berupa lelucon di
tengah keheningan yang menyelimuti kelas mereka. Tapi, sekarang mengingat Bima
yang masih terbaring tak sadarkan diri di rumah sakit membuat mereka kalut dan
tidak bersemangat.
Di waktu yang
sama, dokter memberi kabar kepada kedua orangtua Bima bahwa Bima mengalami
penggumpalan darah di otaknya. Dokter juga tidak tahu mengapa penggumpalan
tersebut baru terjadi seminggu setelah terjadinya kecelakaan. Atau mereka yang
terlambat menyadari. Entahlah, yang jelas informasi itu merupakan sesuatu awal
yang buruk bagi keadaan Bima. Hal itu membuat kedua orangtua Bima semakin sedih
dan sakit. Hati mereka terasa begitu sakit melihat putra kesayangan mereka
tengah berjuang menyelamatkan dirinya sendiri, sementara mereka tak bisa
melakukan apa-apa.
09.05 WIB.
Tinggal sepuluh
menit lagi menjelang istirahat pertama. Guru telah meninggalkan ruang kelas,
tetapi belum mengijinkan para siswanya untuk beristirahat. Jadilah sambil
menunggu waktu istirahat tiba mereka mengobrol, tapi dengan suara yang pelan.
Hendra, teman
sebangku Bima diam saja. Sudah seminggu ini dia tidak banyak bicara, karena
satu-satunya orang yang nyambung ketika mengobrol dengannya hanyalah Bima, dan
sekarang Bima tidak ada di sampingnya.
Ike yang duduk
dibelakang bangku Bima juga hanya bisa memandangi bangku yang biasanya
ditempati Bima. Biasanya di saat seperti ini, Bima akan mengajaknya ngobrol. Tapi
tidak saat ini. Ketika sedang asyik memandangi tempat duduk Bima, tiba-tiba Ike
mengendus-ngenduskan hidungnya. Dia merasa seperti mencium sesuatu yang terasa
asing baginya di ruang kelas itu.
“Eh, eh. Kalian pada
nyium gak?”
“Nyium apa, Ke?”
Deny yang duduk di belakang Ike mengerutkan kening.
“Ini lho, baunya
kayak apa, ya?” Ike masih terus mengendusi bau tersebut, berusaha mengingat bau
apa yang diciumnya itu.
“Mana? Bau apa
sih?” Tanya Indah penasaran. Dia meninggalkan tempat duduknya dan menuju ke
arah bangku Ike. “Iya, ya. Baunya kayak.... Kayak bau infus, gitu.” Tukas Indah
setelah mengendus-ngendus seperti yang dilakukan Ike.
“IYA! Bau cairan
infus. Tapi, kok di kelas ada bau beginian, ya?” Ike yang menyetujui dugaan
Indah, mau tak mau merasa heran.
“Hidung kalian
lagi bermasalah kali? Orang gak ada bau apa-apa tuh.” Ujar Deny.
“Ih.... Beneran
tauuu. Ini emang bau cairan infus.” Kata Ike yang tak terima dibilang hidungnya
bermasalah.
Anak-anak yang
lain hanya mengangkat bahu tidak peduli. Tak lama kemudian bel berbunyi, segera
saja mereka meninggalkan kelas. Ike juga keluar kelas menuju kantin, tapi masih
dengan kening berkerut. Dia masih memikirkan kenapa ada bau itu di dalam kelas.
11.13 WIB.
Deny menerima
SMS dari Mama Bima. Ketika Deny membuka pesan tersebut dan membacanya, dia
merasa seolah napasnya tiba-tiba terasa sesak. Bahkan menelan ludah pun, dia
tak mampu.
Deny.. Bima sudah pergi meninggalkan kita semua. Mohon
doanya, ya agar Bima pergi dengan tenang.
DEG!!
Pesan singkat
itu seolah menghantam tubuh Deny sehingga ia yang tadinya sedang berdiri
seketika limbung dan jatuh terduduk di lantai. Hendra yang lebih dulu menyadari
Deny terjatuh segera mendekati Deny dan berseru dengan kencang, “Kamu kenapa,
Den?”
“I... Ini...
SMS.. Mama.. Bim.. Bim.. Bima..” Deny menjawab dengan terbata-bata. Ingin menyebut
nama Bima saja, tenggorokannya terasa tercekat.
Hendra yang tak
sabar ingin tahu apa yang membuat Deny seperti itu segera mengambil handphone
Deny dari genggaman sang pemilik. Dan ketika Hendra melihat apa yang tertera di
layar handphone tersebut, matanya membelalak tak percaya. Kini seluruh penghuni
kelas tengah menatap ke arah dua lelaki yang sedang terduduk di lantai itu. Sebelum
ada yang sempat bertanya, Hendra menjawab keheranan mereka semua.
“Temen-temen....
Bima udah pergi.” Ucap Hendra dengan susah payah.
“APA!!!!”
“Ng... Nggak
mungkin!”
Mereka yang
segera memahami ungkapan ‘pergi’ dari mulut Hendra itu berteriak tertahan. Ada yang
menggeleng-gelengkan kepalanya tanda tak percaya, ada yang berteriak
keras-keras, dan ada juga yang terdiam beberapa saat sebelum mereka semua
menangis. Mereka tidak menyangka bahwa Bima akan pergi secepat itu meninggalkan
mereka. Bima yang selama ini menjadi pusat perhatian di kelas mereka karena
ketampanan, kepintaran dan keramahannya yang seolah dalam satu paket lengkap
itu kini telah pergi menghadap yang Kuasa.
* * *
Pemakaman Bima diadakan
sore harinya. Semua teman sekelas Bima, guru-guru dan teman-teman lain yang
juga mengenal Bima ikut menghadiri penghormatan terakhir bagi Bima. Isak tangis
Mama Bima terdengar begitu memilukan di telinga teman-teman Bima, sehingga
mereka ikut menangis. Bahkan Papa Bima yang selalu tampak tegar pun meneteskan
air matanya.
“Pergilah, Nak
jika dengan begitu kamu akan lebih tenang.” Papa Bima berucap pelan.
“Bim, kamu
baik-baik di sana, ya. Jangan lupain kita-kita yang ada disini.” Bisik Deny
pelan.
“Kami ikhlasin
kamu, Bim. Kamu yang tenang, ya disana. Pasti kamu udah gak sakit lagi kan? Kalau
dengan kepergian kamu bisa ngilangin rasa sakit kamu, kami semua ikhlas
ditinggal sama kamu, Bim.” Ike mengucapkan pesan terakhirnya untuk Bima dengan
air mata yang mengalir di pipinya.
Sedangkan teman-teman
yang lainnya masih tertunduk pilu. Mereka sudah merelakan kepergian Bima. Karena
mereka tahu, kita sebagai makhluk ciptaan Tuhan, suatu saat akan kembali lagi
kepada Sang Pencipta. Hanya saja mereka masih tak menyangka Bima akan pergi
secepat itu. Andai saja mereka tahu kalau sebelum kecelakaan itu terjadi, permintaan
Bima berfoto bersama adalah permintaan terakhir, pasti akan mereka kabulkan
dengan senang hati. Tapi sayang, sudah terlambat untuk menyadarinya.
Oh, jadi bau cairan infus itu adalah salam
perpisahan dari kamu ya, Bim? Kami terlalu bodoh karena gak peka sama salam
kamu itu. Maafin kami, Bim. Selamat jalan. Selamat tinggal. Air mata Ike
kembali mengalir.
* * *
R.I.P (Rhyme In Peace) / Selamat Tinggal
Bondan Prakoso & Fade 2 Black
Apa kata yang tepat untuk protes terhadap waktu
Rhyme style apa yang pas untuk demo sedih diriku
Air mataku sanggup katakan lebih banyak dari pada
Pesan yang disampaikan semua kata
Yoo yo capital A. N. double much respect fo ya
Kau Selalu karyakan beat untuk rima ber-lima
Meski jarak terbentang ambisi bukan halangannya
Roda dua F1Z menghempas debu bogor jakarta
Sahabat terbaik dalam mengejar mimpi
Teman terhebatku untuk dapat berdiri
Kawan yang tepat untuk sharing hal-hal kecil
Kuping yang pas untuk, untuk dengar rima Cypress Hill
Masih tergambar jelas alunan takdir
Kita lewati malam dengan sebotol beer
Bicara, tertawa, bertingkah semaunya
Sudah saatnya kau tenang di alam sana
Reff:
Hari-hari yang ’kan ku jalani kini semua ’kan terasa sunyi
Walau hampa pasti ku hadapi ku ucapkan slamat jalan
Slamat jalan teman, semoga kau tenang
Semua canda tawa bayangmu takkan pernah hilang
Dalam setiap langkah, kau slalu ada
Sampai kini ku tak percaya kau telah tiada
Yoo yo mungkin batu nisan pisahkan dunia kita
Namun ambisimu kan ku jaga slalu membara
Gapailah doa yang slalu kubaca
Menemani langkahmu menuju singgasana surga
Selamat tinggal tidur yang lelap
Mimpi yang indah selamat jalan
Selamat tinggal (we love you my brother you'll always in my heart)
Tidur yang lelap (even now and forever we'll always one blood)
Mimpi yang indah (hope God give you heaven, may God be with you)
Selamat jalan
Kami detik ini tanpa kau seperti minus one
Kami hisap king arthur untuk kau kawan
Kami minum ini hanya untukmu teman
Kau adalah milikNya dan kepadaNyalah kau kembali
Sampai bertemu brother di alam sana nanti, Rhyme In Peace
Karya : Lidya Christin Silalahi
Sumber : http://martabakmietelor.blogspot.com/2013/09/rhyme-in-peace.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar