Jumat, 25 Oktober 2013

Bukan Berarti


Aku sedang asik menuliskan semua ide-ide yang berkejaran di kepala ku ke dalam buku catatan pribadiku. Bukan semacam diary, hanya buku yang selalu ku bawa kemana-mana, kalau-kalau ada ide yang tiba-tiba lewat sepintas di kepalaku. Karena terkadang aku mengisi waktu senggang dengan menulis syair atau cerpen. Aku menulis secepat yang kubisa, takut kalau lewat sedetik saja maka ide itu akan terlupakan. Yeah, aku memang gampang sekali melupakan hal-hal kecil, maka dari itu aku membutuhkan buku ini.
Setelah kurasa ide yang berkeliaran beberapa menit yang lalu telah habis tertulis dengan tinta hitam di tanganku, aku mengedarkan pandangan ke sekeliling. Aku sedang berada di belakang kampusku. Ini salah satu tempat favoritku di universitas ini. Tempat ini semacam taman yang teduh karena banyak pohon disekitarnya dan tidak banyak orang yang berkunjung ke sini pada jam-jam tertentu termasuk sekarang ini, sehingga memberi ketenangan jika sedang ingin berkonsentrasi. 
Sebenarnya aku sudah tidak mempunyai jam kuliah lagi, tapi karena tidak tahu harus menghabiskan waktu kemana, akhirnya aku memutuskan untuk mampir kesini. Sesaat setelah memasukkan buku kecil dan pulpen yang tadi aku gunakan ke dalam tas, aku melihat seorang pemuda yang tampak keberatan membawa setumpuk buku yang bisa dikatakan sangat banyak. Buku-buku itu sangat tebal. Dan seperti yang kubilang tadi, sangat banyak. Sehingga menghalangi pandangannya. Dia berjalan dengan sangat pelan dan menjaga keseimbangan tubuhnya agar tak terjatuh.
Dia terus berjalan dengan lambatnya, dan aku hanya memandanginya. Benar-benar tak berkeinginan untuk membantu. Aku bukannya tak berperikemanusiaan. Hanya saja, aku terlalu sibuk memandangi pria itu. Gerak-gerik tubuhnya begitu mengundang pertanyaan, apa yang akan dilakukannya selanjutnya? Aku memandangi wajahnya yang hanya tampak dari samping. Dia seakan terlihat sangat awas. Takut-takut kalau tersandung dan mengakibatkan dirinya terjerembab jatuh ke tanah dengan semua buku yang dibawanya. Dan benar saja, tak lama kemudian dia tersandung batu didepannya yang tentu tak tampak olehnya.
Pria itu terduduk dan memandang pasrah ke arah buku-buku yang berserakan di depannya. Dia mendengus kesal, lalu memunguti buku-buku itu lambat-lambat.
“Perlu bantuan?” Aku mendatanginya karena tak tega.
Dia menatapku nanar, seakan mengiyakan dengan tatapannya. Setelah berhasil mengumpulkan keseluruhan buku yang tadinya berserakan, dia menyodorkan tangannya mengajak berkenalan.
“Gue Mario. Lo?” Tangannya mengambang ke arahku, bibirnya menyunggingkan senyum yang sangat manis.
Butuh waktu beberapa detik untukku membalas jabatan tangannya. “Kayla.” Jawabku singkat.
“Thank’s ya udah bantuin. Ini semua gara-gara Pak Bonar. Enak aja dia nyuruh gue ngebawa buku sebanyak ini dari perpus ke ruangannya dia yang jaraknya jauh banget. Ga mikir apa ya, dia. Dikira gampang apa bawa buku sebanyak ini sendirian!!”
“Hahaha. Lo kayak gatau Pak Bonar aja. Dia kan gabsia di tolak. Jadi, ya, anggep aja hari ini lo lagi sial kena ‘permintaan’ tolongnya dia yang disetujui secara sepihak.”
“Iya, sih. Untung dia dosen, kalo bukan udah gue banting nih buku depan mukanya.” Dia tampaknya masih sangat kesal.
“Emang lo jurusan apa kok sampe bisa kenal sama Pak Bonar?” Tanyaku penasaran sekaligus mengalihkan pembicaraan agar kesalnya segera hilang.
“Gue jurusan Ekonomi. Jelas aja kenal, siapa sih yang ga kenal sama dia? Guru ter-killer sekampus. Lo sendiri?”
“Gue ambil Psikologi. Terus, ini mau dibantuin bawa sampe ke ruangan Pak Bonar ga? Kesian gue ngeliat lo.”
“Iya deh, untung ada lo. Kalo nggak, ntah kapan gue lepas dari nih buku-buku sialan.” Dia berdiri sambil membawa sebagian buku-buku yang semula dibawanya. Aku mengambil sebagiannya lagi dan ikut berdiri.
Kami berjalan beriringan menuju ruangan Pak Bonar, dalam diam. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Aku pun tak tahu ingin membahas apalagi. Akhirnya setelah meletakkan buku-buku sialan yang disebutkan Mario tadi ke meja terkutuk Pak Bonar yang juga disebutkan Mario, kami berjalan ke parkiran. Mario berniat mengantarkanku pulang, sebagai ucapan terima kasih katanya. Tentu saja aku tidak menolak niat baiknya, karena matahari begitu menyengat dan akan sangat melelahkan menunggu Bus di bawah terik matahari secerah ini.
“Rumah lo, dimana?” Katanya sambil menaiki motor dan mengisyaratkan aku untuk naik di belakangnya.
“Ga jauh dari sini kok. Ntar gue tunjukin aja jalannya.”
                                                                           * * *
            Suara dering ponsel tanda ada pesan masuk membuatku mengalihkan perhatian dari novel yang sedang kubaca. Karena hari sudah sore dan tak ada kegiatan yang harus dikerjakan, aku memutuskan untuk bersantai sambil membaca novel. Ternyata pesan dari Mario. Ya, tadi siang sesampainya di rumahku dia menanyakan nomor ponselku.
            “Besok pagi bareng gue aja, gimana?” Aku tersenyum membacanya.
Jujur saja, aku sangat senang bisa mengenal pria semanis dan sebaik Mario. Entah mengapa, saat berada di atas motor dengan Mario, aku merasa tak ingin turun saja. Aku benar-benar menikmati aroma tubuhnya, aroma mint yang segar di penciuman. Dan ketika aku melingkarkan lenganku di dekat perutnya, aku merasakan kehangatan yang begitu menghanyutkan. Aku tahu itu tak seharus seharusnya terjadi. Tapi, tak apalah. Toh dia diam saja. Lagian dia juga membawa motornya dengan kecepatan tinggi. Jadi, tidak ada yang salah bukan?
“Gapapa sih kalo ga ngerepotin.” Balasku untuk pesannya tadi.
“Nggak lah, lagian rumah kita searah. Oke, besok gue jemput ya.” Tak ada tanda tanya. Itu artinya dia sudah membuat keputusan dan tak perlu menanyakan jawabannya.
* * *
            Sejak pengantarannya dan penjemputannya yang pertama, Mario jadi rutin menjemput dan mengantarkanku kembali ke rumah. Sudah sebulan sejak perkenalan kami. Dan kami menjadi lebih dekat. Kami sering menghabiskan waktu di atas motor membahas tentang apapun. Masalah kejiwaan, masalah pendapatan negara, tentang film, tentang makanan, tentang dosen, tentang mata kuliah, dan hal lainnya yang kami anggap menarik.
            Kami merasa sangat cocok satu sama lain saat sedang berbincang. Aku seakan memahami semua perkataannya dan dia selalu mendengarkan apa yang kubicarakan. Dan kecocokan itu menimbulkan rasa nyaman dihatiku. Senyaman saat aku menghirup aroma mint dari tubuhnya. Mungkin tak sekedar hanya rasa nyaman. Sepertinya aku mulai menyukainya. Dan dari semua kebaikan yang diberikannya, sepertinya dia pun merasakan hal yang sama denganku.
            Pagi ini seperti biasa, aku menunggunya datang menjemputku untuk pergi ke kampus bersama. Tapi hampir setengah jam aku menunggunya, dia tak kunjung datang. Tidak biasanya dia datang lebih lama dari waktu yang dijanjikan. “Ah, mungkin aja dia kejebak macet. Paling bentar lagi juga nyampe.” Kataku dalam hati.
            Tapi sampai sejam kemudian, Mario sama sekali tak muncul. Aku mulai khawatir, jangan-jangan terjadi sesuatu padanya. Aku memutuskan untuk mengirimkan pesan padanya.
To: Mario
Yo, kamu dimana? Jadi jemput kan?
18/06/13 09.00 WIB
            Tak berapa lama kemudian, ponselku berdering menandakan pesan masuk.
Sender : Mario
Astaga, gue lupa ngasih tau lo, Kay. Hari ini gue gabisa jemput lo. Cewek gue masuk rumah sakit. Lo ke kampus sendiri gapapa, kan? Sorry banget ya?
18/06/13 09.07 WIB
            DEG! Apa katanya? Ceweknya masuk rumah sakit? Cewek??? Jadi, selama ini Mario punya cewek? Kenapa Mario tak mengatakannya sejak awal? Kenapa dia mengatakannya setelah rasa ini ada? Mengapa dia harus bersikap baik padaku selama ini? Apa maksud dari semua tindakannya selama ini? Semua senyum manis yang diberikannya padaku. Semua perbuatan baiknya. Semua kenyamanan yang diberikannya. Apa maksudnya dengan semua itu????
            Aku memutuskan untuk tidak pergi ke kampus hari ini. Mood ku untuk menerima mata kuliah hilang seketika. Percuma jika kupaksakan, paling aku hanya melamun nantinya. Aku melemparkan handphone yang ku pegang tadi ke atas kasur. Kemudian aku membuka laci di samping tempat tidurku, mencari-cari buku kecil yang sudah lama tak kutulisi. Aku mengambil pulpen dari tasku, dan menghempaskan tubuhku ke atas tempat tidur. Dengan posisi telungkup, aku menuliskan semua kekesalanku di buku kecil itu dalam bentuk syair.
Kau datang dalam kehidupanku
Kau memberikanku apa yang selama ini tak kudapatkan
Kau memberikan kenyamanan, keu menawarkan sejuta kebahagiaan
Hingga akhirnya kusadari bahwa aku mencintaimu
Aku menunggumu untuk mengatakannya
Menunggu kau yang lebih dulu mengungkapkannya
Karena ku pikir kau pun memiliki rasa yang sama denganku
Tapi ternyata aku salah
Kau... kau telah dimiliki wanita lain yang bahkan tak ku ketahui siapa
Mengapa kau tak membiarkanku mengetahuinya sejak awal?
Mengapa kau biarkan aku terjerat dalam cintamu lebih dulu?
Mengapa kau memilihku untuk kau sakiti?
Kata yang tepat untukmu saat ini adalah: BRENGSEKK!!
Andai aku tahu sejak awal akan seperti ini jadinya
Takkan pernah kuterima niat baikmu
Takkan pernah kubiarkan kau memasuki kehidupanku
Takkan kubiarkan kau menghancurkan perasaanku dengan sadisnya
Haha!

                                                                          * * *      
                Aku tertidur setelah menangis sedari pagi. Dan kini mataku begitu berat untuk dibuka. Aku berjalan sempoyongan ke arah kamar mandi. Kuputar keran air di wastafel dan membasuh mukaku sekali, lalu melihat ke arah cermin. Crap! Mataku bengkak sebesar bola pingpong sekarang. Pasti karena lelah menangis aku jadi tertidur dan inilah akibatnya. Yasudahlah, lagian aku tak berniat kemana-mana hari ini. Tak kan ada yang melihat keadaan mataku ini. Aku kembali membasuh mukaku.
            Aku duduk di tempat tidurku, melihat buku kecil yang tadi pagi kutulisi dengan beruraian air mata. Kembali teringat dengan pesan keparat yang kuterima tadi pagi. Hampir saja aku menangis lagi, tapi segera ku tahan, mengingat sudah seberapa besar bengkak di mataku sekarang. Aku melihat ke arah jam dinding. Pukul 15.00 WIB. Ternyata cukup lama aku terlelap. Dan aku tak tahu harus melakukan apa sekarang ini. Jadi kuputuskan saja untuk membuat kopi di dapur.
            Saat tengah menikmati kopi dan membaca novel yang belum ku selesaikan, tiba-tiba ada yang mengetok pintu rumahku. Siapa sih sore-sore bertamu, batinku. Tanpa pikir panjang aku berjalan ke arah pintu dan langsung membukanya. DEG! Pria brengsek ini rupanya. Aku segera menutup kembali pintu yang baru kubuka, tapi terlambat. Mario telah menahannya lebih dulu sehingga tak dapat ku tutup.
            “Lo kenapa Kay? Abis nangis?” Tanyanya dengan nada cemas yang bagiku tak lebih dari kata-kata sampah. Dia masih dalam posisi menahan pintu yang setengah tertutup.
            “Ngapain lo kesini? Pulang sana! Gue ga butuh lo disini!!” Kataku ketus.
            Dia mendorong pintu lebih kuat lagi, dan aku tak mampu menahannya. Pintu pun terbuka lebar. Dia menatap mataku yang bengkak.
            “Lo kenapa, sih? Tadi gue ke kampus nyariin lo, tapi kata temen-temen lo hari ini lo absen. Lo sakit?”
            “Peduli apa lo sama gue! Mo gue sakit kek, mo mati kek, apa urusannya sama lo?!!”
            “Kay.... Gue ada salah ya?” Tanyanya dengan nada yang terdengar lelah.
            Aku diam saja. Tak berniat ingin menjawabnya.
            “Kay.... Gue salah apa? Lo marah gara-gara gue ngebatalin janji? Maaf deh, ga lagi-lagi. Tapi, lo jangan diem aja. Gue bingung mau ngomong apa jadinya.”
            “Gaada yang nyuruh lo ngomong. Mending lo pulang sekarang, gue lagi ga pengen diganggu.”
            “Nggak. Gue nggak bakalan pulang sebelum lo kasih tau ke gue kenapa lo marah, dan sebelum lo maafin gue.”
            Aku mendesah kesal. Tak ingin lama-lama melihat wajahnya lagi. Jadi biar saja dia tahu apa yang membuatku marah. Aku masuk ke dalam kamar mengambil buku kecilku. Lalu aku kembali ke teras di depan rumah. Mario sudah duduk di kursi tamu. Aku duduk di kursi lainnya dan menyodorkan buku kecil yang baru kutulisi tadi pagi padanya.
            Dia membacanya. Dia terlihat sangat serius. Dan. Lamaaa sekali. Aku sampai bertanya-tanya, apa sih yang membuatnya lama sekali memahami isi tulisanku itu. Seingatku, aku tak begitu panjang menuliskan amarahku disitu. Tiba-tiba dia mengangkat wajahnya dari buku itu dan menatapku.
            “Lo... Lo suka sama gue?” Tanyanya dengan nada berat.
            Tak ada jawaban. Dia melanjutkan.
            “Sorry, Kay. Gue nggak tahu dan nggak nyangka kalo lo suka sama gue. Selama ini gue baik sama lo, perhatian sama lo, banyak ngabisin waktu sama lo, ya... karena gue ngerasa nyambung sama lo. Gue nganggep lo temen ngobrol yang asik. Lo selalu ngerti apa yang gue omongin dan kita punya ketertarikan yang sama dalam banyak hal. Dan selama ini gue belum nemu temen yang kayak lo. Makanya itu gue nggak bosen main sama lo.
            “Dan gue nggak nyangka kalo bakalan gini jadinya. Gue nggak ada maksud buat ngasih lo harapan dan nyakitin elo. Sorry kalo selama ini lo salah mengartikan tindakan gue, karena gue udah punya pacar. Dan gue sayang banget sama cewek gue.”
            Dia menghela nafas pelan. Aku hanya diam. Mencerna kembali setiap perkataannya. Dan setelah melewatkan beberapa menit dalam keheningan. Barulah aku menyadari, ternyata selama ini Mario memang tak pernah memberikanku harapan. Akulah yang mengharapkannya. Aku yang menganggap semua perbuatan baiknya padaku disebabkan karena dia menyukaiku. Tiba-tiba aku merasa malu sendiri. Tidak seharusnya aku menyalahkan dia atas perasaanku sendiri.
            “Sorry.” Cuma itu yang terlintas di otakku saat ini.
            “Buat?” Tanyanya.
            “Sorry, karena gue udah marah sama lo tanpa lo tau alesannya. Sorry kalo gue juga udah salah nganggep lo suka sama gue. Selama ini gue nya aja yang ngarep, padahal lo gapernah nganggep gue lebih dari sekedar temen.” Aku tertunduk. Hendak menangis lagi menyadari kebodohanku.
            “Udalah, gue nggak apa-apa kok. Gue Cuma nggak pengen lo marah sama gue dan gue kehilangan temen terbaik gue.” Dia menepuk-nepuk punggungku.
            Aku tersenyum. Sekali lagi menyadari betapa baiknya pria disampingku ini. Beruntung sekali kekasihnya, mempunyai seorang pacar yang setia dan baik hati.
            “Eh, ngomong-ngomong, tadi kata lo, pacar lo masuk rumah sakit ya? Dia kenapa?”
            “Iya, maag nya kambuh. Dia emang gitu, kalo udah sibuk sama tugas-tugasnya bakal lupa sama makan. Abis dari sini gue mau ke rumah sakit lagi, lo mau ikut? Ntar gue kenalin sekalian.”
            “Emm.... Tapi mata gue lagi gini.” Aku menunjuk ke arah mataku yang sangat besar.
            “Hahaha. Nggak papa kok, lo masih keliatan cantik. Tambah cantik malah. Hahaha.” Dia tertawa terbahak-bahak setelah menggodaku habis-habisan. Menggoda dalam artian terhadap teman. Bukan menggoda untuk mendapat perhatian.
            Aku hanya tertawa sambil memukuli lengannya sesekali. Aku merasa senang kini. Akan kucoba menghilangkan perasaan sayang ini secara perlahan. Aku tak ingin merusak persahabatan kami dan kehilangan sosok Mario yang begitu baik. Mungkin dia memang bukan orang yang ditakdirkan bersamaku sebagai seorang kekasih. Tapi dia orang yang ditakdirkan untuk bersamaku sebagai seorang sahabat. Dan karena dia baik kepadamu, bukan berarti dia menyukaimu. Pribadinyalah yang menjadikannya baik :)
                                                                          * * * 
Muehehe maapin yah masih amatiran. Baru belajar nulis soalnya :D Makasih udah nyempatin baca. Sorry kalo ceritanya random gitu wkwk.


Karya   : Lidya Christin Silalahi
Sumber : http://martabakmietelor.blogspot.com/2013/06/bukan-berarti.html

Tidak ada komentar: