Aku sedang asik
menuliskan semua ide-ide yang berkejaran di kepala ku ke dalam buku catatan
pribadiku. Bukan semacam diary,
hanya
buku yang selalu ku bawa kemana-mana, kalau-kalau ada ide yang tiba-tiba
lewat
sepintas di kepalaku. Karena terkadang aku mengisi waktu senggang dengan
menulis syair atau cerpen. Aku menulis secepat yang kubisa, takut kalau
lewat
sedetik saja maka ide itu akan terlupakan. Yeah, aku memang gampang
sekali
melupakan hal-hal kecil, maka dari itu aku membutuhkan buku ini.
Setelah kurasa ide yang
berkeliaran beberapa menit yang lalu telah habis tertulis dengan tinta hitam di
tanganku, aku mengedarkan pandangan ke sekeliling. Aku sedang berada di
belakang kampusku. Ini salah satu tempat favoritku di universitas ini. Tempat
ini semacam taman yang teduh karena banyak pohon disekitarnya dan tidak banyak
orang yang berkunjung ke sini pada jam-jam tertentu termasuk sekarang ini,
sehingga memberi ketenangan jika sedang ingin berkonsentrasi.
Sebenarnya aku sudah
tidak mempunyai jam kuliah lagi, tapi karena tidak tahu harus menghabiskan
waktu kemana, akhirnya aku memutuskan untuk mampir kesini. Sesaat setelah
memasukkan buku kecil dan pulpen yang tadi aku gunakan ke dalam tas, aku
melihat seorang pemuda yang tampak keberatan membawa setumpuk buku yang bisa
dikatakan sangat banyak. Buku-buku itu sangat tebal. Dan seperti yang kubilang
tadi, sangat banyak. Sehingga menghalangi pandangannya. Dia berjalan dengan
sangat pelan dan menjaga keseimbangan tubuhnya agar tak terjatuh.
Dia terus berjalan
dengan lambatnya, dan aku hanya memandanginya. Benar-benar tak berkeinginan
untuk membantu. Aku bukannya tak berperikemanusiaan. Hanya saja, aku terlalu
sibuk memandangi pria itu. Gerak-gerik tubuhnya begitu mengundang pertanyaan,
apa yang akan dilakukannya selanjutnya? Aku memandangi wajahnya yang hanya
tampak dari samping. Dia seakan terlihat sangat awas. Takut-takut kalau
tersandung dan mengakibatkan dirinya terjerembab jatuh ke tanah dengan semua
buku yang dibawanya. Dan benar saja, tak lama kemudian dia tersandung batu
didepannya yang tentu tak tampak olehnya.
Pria itu terduduk dan
memandang pasrah ke arah buku-buku yang berserakan di depannya. Dia mendengus
kesal, lalu memunguti buku-buku itu lambat-lambat.
“Perlu bantuan?” Aku
mendatanginya karena tak tega.
Dia menatapku nanar,
seakan mengiyakan dengan tatapannya. Setelah berhasil mengumpulkan keseluruhan
buku yang tadinya berserakan, dia menyodorkan tangannya mengajak berkenalan.
“Gue Mario. Lo?”
Tangannya mengambang ke arahku, bibirnya menyunggingkan senyum yang sangat
manis.
Butuh waktu beberapa
detik untukku membalas jabatan tangannya. “Kayla.” Jawabku singkat.
“Thank’s ya udah
bantuin. Ini semua gara-gara Pak Bonar. Enak aja dia nyuruh gue ngebawa buku
sebanyak ini dari perpus ke ruangannya dia yang jaraknya jauh banget. Ga mikir
apa ya, dia. Dikira gampang apa bawa buku sebanyak ini sendirian!!”
“Hahaha. Lo kayak gatau
Pak Bonar aja. Dia kan gabsia di tolak. Jadi, ya, anggep aja hari ini lo lagi
sial kena ‘permintaan’ tolongnya dia yang disetujui secara sepihak.”
“Iya, sih. Untung dia
dosen, kalo bukan udah gue banting nih buku depan mukanya.” Dia tampaknya masih
sangat kesal.
“Emang lo jurusan apa
kok sampe bisa kenal sama Pak Bonar?” Tanyaku penasaran sekaligus mengalihkan
pembicaraan agar kesalnya segera hilang.
“Gue jurusan Ekonomi.
Jelas aja kenal, siapa sih yang ga kenal sama dia? Guru ter-killer sekampus. Lo
sendiri?”
“Gue ambil Psikologi.
Terus, ini mau dibantuin bawa sampe ke ruangan Pak Bonar ga? Kesian gue ngeliat
lo.”
“Iya deh, untung ada
lo. Kalo nggak, ntah kapan gue lepas dari nih buku-buku sialan.” Dia berdiri
sambil membawa sebagian buku-buku yang semula dibawanya. Aku mengambil
sebagiannya lagi dan ikut berdiri.
Kami berjalan
beriringan menuju ruangan Pak Bonar, dalam diam. Sibuk dengan pikiran
masing-masing. Aku pun tak tahu ingin membahas apalagi. Akhirnya setelah
meletakkan buku-buku sialan yang disebutkan Mario tadi ke meja terkutuk Pak
Bonar yang juga disebutkan Mario, kami berjalan ke parkiran. Mario berniat
mengantarkanku pulang, sebagai ucapan terima kasih katanya. Tentu saja aku tidak
menolak niat baiknya, karena matahari begitu menyengat dan akan sangat
melelahkan menunggu Bus di bawah terik matahari secerah ini.
“Rumah lo, dimana?”
Katanya sambil menaiki motor dan mengisyaratkan aku untuk naik di belakangnya.
“Ga jauh dari sini kok.
Ntar gue tunjukin aja jalannya.”
* * *
Suara dering ponsel tanda ada pesan masuk membuatku
mengalihkan perhatian dari novel yang sedang kubaca. Karena hari sudah sore dan
tak ada kegiatan yang harus dikerjakan, aku memutuskan untuk bersantai sambil membaca
novel. Ternyata pesan dari Mario. Ya, tadi siang sesampainya di rumahku dia
menanyakan nomor ponselku.
“Besok pagi bareng gue aja, gimana?” Aku tersenyum
membacanya.
Jujur
saja, aku sangat senang bisa mengenal pria semanis dan sebaik Mario. Entah
mengapa, saat berada di atas motor dengan Mario, aku merasa tak ingin turun
saja. Aku benar-benar menikmati aroma tubuhnya, aroma mint yang segar di
penciuman. Dan ketika aku melingkarkan lenganku di dekat perutnya, aku
merasakan kehangatan yang begitu menghanyutkan. Aku tahu itu tak seharus seharusnya
terjadi. Tapi, tak apalah. Toh dia diam saja. Lagian dia juga membawa motornya
dengan kecepatan tinggi. Jadi, tidak ada yang salah bukan?
“Gapapa
sih kalo ga ngerepotin.” Balasku untuk pesannya tadi.
“Nggak
lah, lagian rumah kita searah. Oke, besok gue jemput ya.” Tak ada tanda tanya.
Itu artinya dia sudah membuat keputusan dan tak perlu menanyakan jawabannya.
* * *
Sejak
pengantarannya dan penjemputannya yang pertama, Mario jadi rutin menjemput dan
mengantarkanku kembali ke rumah. Sudah sebulan sejak perkenalan kami. Dan kami
menjadi lebih dekat. Kami sering menghabiskan waktu di atas motor membahas
tentang apapun. Masalah kejiwaan, masalah pendapatan negara, tentang film,
tentang makanan, tentang dosen, tentang mata kuliah, dan hal lainnya yang kami
anggap menarik.
Kami
merasa sangat cocok satu sama lain saat sedang berbincang. Aku seakan memahami
semua perkataannya dan dia selalu mendengarkan apa yang kubicarakan. Dan
kecocokan itu menimbulkan rasa nyaman dihatiku. Senyaman saat aku menghirup
aroma mint dari tubuhnya. Mungkin tak sekedar hanya rasa nyaman. Sepertinya aku
mulai menyukainya. Dan dari semua kebaikan yang diberikannya, sepertinya dia
pun merasakan hal yang sama denganku.
Pagi
ini seperti biasa, aku menunggunya datang menjemputku untuk pergi ke kampus
bersama. Tapi hampir setengah jam aku menunggunya, dia tak kunjung datang.
Tidak biasanya dia datang lebih lama dari waktu yang dijanjikan. “Ah, mungkin
aja dia kejebak macet. Paling bentar lagi juga nyampe.” Kataku dalam hati.
Tapi
sampai sejam kemudian, Mario sama sekali tak muncul. Aku mulai khawatir,
jangan-jangan terjadi sesuatu padanya. Aku memutuskan untuk mengirimkan pesan
padanya.
To: Mario
Yo, kamu dimana? Jadi jemput kan?
18/06/13 09.00 WIB
Tak
berapa lama kemudian, ponselku berdering menandakan pesan masuk.
Sender : Mario
Astaga, gue lupa ngasih tau lo, Kay. Hari ini gue gabisa
jemput lo. Cewek gue masuk rumah sakit. Lo ke kampus sendiri gapapa, kan? Sorry
banget ya?
18/06/13 09.07 WIB
DEG!
Apa katanya? Ceweknya masuk rumah sakit? Cewek??? Jadi, selama ini Mario punya
cewek? Kenapa Mario tak mengatakannya sejak awal? Kenapa dia mengatakannya
setelah rasa ini ada? Mengapa dia harus bersikap baik padaku selama ini? Apa
maksud dari semua tindakannya selama ini? Semua senyum manis yang diberikannya
padaku. Semua perbuatan baiknya. Semua kenyamanan yang diberikannya. Apa
maksudnya dengan semua itu????
Aku
memutuskan untuk tidak pergi ke kampus hari ini. Mood ku untuk menerima mata
kuliah hilang seketika. Percuma jika kupaksakan, paling aku hanya melamun
nantinya. Aku melemparkan handphone yang
ku pegang tadi ke atas kasur. Kemudian aku membuka laci di samping tempat
tidurku, mencari-cari buku kecil yang sudah lama tak kutulisi. Aku mengambil
pulpen dari tasku, dan menghempaskan tubuhku ke atas tempat tidur. Dengan
posisi telungkup, aku menuliskan semua kekesalanku di buku kecil itu dalam
bentuk syair.
Kau datang dalam
kehidupanku
Kau memberikanku
apa yang selama ini tak kudapatkan
Kau memberikan
kenyamanan, keu menawarkan sejuta kebahagiaan
Hingga akhirnya
kusadari bahwa aku mencintaimu
Aku menunggumu
untuk mengatakannya
Menunggu kau
yang lebih dulu mengungkapkannya
Karena ku pikir
kau pun memiliki rasa yang sama denganku
Tapi ternyata
aku salah
Kau... kau telah
dimiliki wanita lain yang bahkan tak ku ketahui siapa
Mengapa kau tak
membiarkanku mengetahuinya sejak awal?
Mengapa kau
biarkan aku terjerat dalam cintamu lebih dulu?
Mengapa kau
memilihku untuk kau sakiti?
Kata yang tepat
untukmu saat ini adalah: BRENGSEKK!!
Andai aku tahu
sejak awal akan seperti ini jadinya
Takkan pernah
kuterima niat baikmu
Takkan pernah
kubiarkan kau memasuki kehidupanku
Takkan kubiarkan
kau menghancurkan perasaanku dengan sadisnya
Haha!
*
* *
Aku
tertidur setelah menangis sedari pagi. Dan kini mataku begitu berat untuk
dibuka. Aku berjalan sempoyongan ke arah kamar mandi. Kuputar keran air di
wastafel dan membasuh mukaku sekali, lalu melihat ke arah cermin. Crap! Mataku
bengkak sebesar bola pingpong sekarang. Pasti karena lelah menangis aku jadi
tertidur dan inilah akibatnya. Yasudahlah, lagian aku tak berniat kemana-mana
hari ini. Tak kan ada yang melihat keadaan mataku ini. Aku kembali membasuh
mukaku.
Aku
duduk di tempat tidurku, melihat buku kecil yang tadi pagi kutulisi dengan
beruraian air mata. Kembali teringat dengan pesan keparat yang kuterima tadi
pagi. Hampir saja aku menangis lagi, tapi segera ku tahan, mengingat sudah
seberapa besar bengkak di mataku sekarang. Aku melihat ke arah jam dinding.
Pukul 15.00 WIB. Ternyata cukup lama aku terlelap. Dan aku tak tahu harus
melakukan apa sekarang ini. Jadi kuputuskan saja untuk membuat kopi di dapur.
Saat
tengah menikmati kopi dan membaca novel yang belum ku selesaikan, tiba-tiba ada
yang mengetok pintu rumahku. Siapa sih sore-sore bertamu, batinku. Tanpa pikir
panjang aku berjalan ke arah pintu dan langsung membukanya. DEG! Pria brengsek
ini rupanya. Aku segera menutup kembali pintu yang baru kubuka, tapi terlambat.
Mario telah menahannya lebih dulu sehingga tak dapat ku tutup.
“Lo
kenapa Kay? Abis nangis?” Tanyanya dengan nada cemas yang bagiku tak lebih dari
kata-kata sampah. Dia masih dalam posisi menahan pintu yang setengah tertutup.
“Ngapain
lo kesini? Pulang sana! Gue ga butuh lo disini!!” Kataku ketus.
Dia
mendorong pintu lebih kuat lagi, dan aku tak mampu menahannya. Pintu pun
terbuka lebar. Dia menatap mataku yang bengkak.
“Lo
kenapa, sih? Tadi gue ke kampus nyariin lo, tapi kata temen-temen lo hari ini
lo absen. Lo sakit?”
“Peduli
apa lo sama gue! Mo gue sakit kek, mo mati kek, apa urusannya sama lo?!!”
“Kay....
Gue ada salah ya?” Tanyanya dengan nada yang terdengar lelah.
Aku
diam saja. Tak berniat ingin menjawabnya.
“Kay....
Gue salah apa? Lo marah gara-gara gue ngebatalin janji? Maaf deh, ga lagi-lagi.
Tapi, lo jangan diem aja. Gue bingung mau ngomong apa jadinya.”
“Gaada
yang nyuruh lo ngomong. Mending lo pulang sekarang, gue lagi ga pengen diganggu.”
“Nggak.
Gue nggak bakalan pulang sebelum lo kasih tau ke gue kenapa lo marah, dan
sebelum lo maafin gue.”
Aku
mendesah kesal. Tak ingin lama-lama melihat wajahnya lagi. Jadi biar saja dia
tahu apa yang membuatku marah. Aku masuk ke dalam kamar mengambil buku kecilku.
Lalu aku kembali ke teras di depan rumah. Mario sudah duduk di kursi tamu. Aku
duduk di kursi lainnya dan menyodorkan buku kecil yang baru kutulisi tadi pagi
padanya.
Dia
membacanya. Dia terlihat sangat serius. Dan. Lamaaa sekali. Aku sampai
bertanya-tanya, apa sih yang membuatnya lama sekali memahami isi tulisanku itu.
Seingatku, aku tak begitu panjang menuliskan amarahku disitu. Tiba-tiba dia
mengangkat wajahnya dari buku itu dan menatapku.
“Lo...
Lo suka sama gue?” Tanyanya dengan nada berat.
Tak
ada jawaban. Dia melanjutkan.
“Sorry,
Kay. Gue nggak tahu dan nggak nyangka kalo lo suka sama gue. Selama ini gue
baik sama lo, perhatian sama lo, banyak ngabisin waktu sama lo, ya... karena
gue ngerasa nyambung sama lo. Gue nganggep lo temen ngobrol yang asik. Lo
selalu ngerti apa yang gue omongin dan kita punya ketertarikan yang sama dalam
banyak hal. Dan selama ini gue belum nemu temen yang kayak lo. Makanya itu gue
nggak bosen main sama lo.
“Dan
gue nggak nyangka kalo bakalan gini jadinya. Gue nggak ada maksud buat ngasih
lo harapan dan nyakitin elo. Sorry kalo selama ini lo salah mengartikan
tindakan gue, karena gue udah punya pacar. Dan gue sayang banget sama cewek
gue.”
Dia
menghela nafas pelan. Aku hanya diam. Mencerna kembali setiap perkataannya. Dan
setelah melewatkan beberapa menit dalam keheningan. Barulah aku menyadari,
ternyata selama ini Mario memang tak pernah memberikanku harapan. Akulah yang
mengharapkannya. Aku yang menganggap semua perbuatan baiknya padaku disebabkan
karena dia menyukaiku. Tiba-tiba aku merasa malu sendiri. Tidak seharusnya aku
menyalahkan dia atas perasaanku sendiri.
“Sorry.”
Cuma itu yang terlintas di otakku saat ini.
“Buat?”
Tanyanya.
“Sorry,
karena gue udah marah sama lo tanpa lo tau alesannya. Sorry kalo gue juga udah
salah nganggep lo suka sama gue. Selama ini gue nya aja yang ngarep, padahal lo
gapernah nganggep gue lebih dari sekedar temen.” Aku tertunduk. Hendak menangis
lagi menyadari kebodohanku.
“Udalah,
gue nggak apa-apa kok. Gue Cuma nggak pengen lo marah sama gue dan gue
kehilangan temen terbaik gue.” Dia menepuk-nepuk punggungku.
Aku
tersenyum. Sekali lagi menyadari betapa baiknya pria disampingku ini. Beruntung
sekali kekasihnya, mempunyai seorang pacar yang setia dan baik hati.
“Eh,
ngomong-ngomong, tadi kata lo, pacar lo masuk rumah sakit ya? Dia kenapa?”
“Iya,
maag nya kambuh. Dia emang gitu, kalo udah sibuk sama tugas-tugasnya bakal lupa
sama makan. Abis dari sini gue mau ke rumah sakit lagi, lo mau ikut? Ntar gue
kenalin sekalian.”
“Emm....
Tapi mata gue lagi gini.” Aku menunjuk ke arah mataku yang sangat besar.
“Hahaha.
Nggak papa kok, lo masih keliatan cantik. Tambah cantik malah. Hahaha.” Dia
tertawa terbahak-bahak setelah menggodaku habis-habisan. Menggoda dalam artian
terhadap teman. Bukan menggoda untuk mendapat perhatian.
Aku
hanya
tertawa sambil memukuli lengannya sesekali. Aku merasa senang kini.
Akan
kucoba menghilangkan perasaan sayang ini secara perlahan. Aku tak ingin
merusak
persahabatan kami dan kehilangan sosok Mario yang begitu baik. Mungkin
dia
memang bukan orang yang ditakdirkan bersamaku sebagai seorang kekasih.
Tapi dia
orang yang ditakdirkan untuk bersamaku sebagai seorang sahabat. Dan
karena dia baik kepadamu, bukan berarti dia menyukaimu. Pribadinyalah
yang menjadikannya baik :)
* * *
Muehehe
maapin yah masih amatiran. Baru belajar nulis soalnya :D Makasih udah
nyempatin baca. Sorry kalo ceritanya random gitu wkwk.
Karya : Lidya Christin Silalahi
Sumber : http://martabakmietelor.blogspot.com/2013/06/bukan-berarti.html