Jumat, 01 November 2013

Sendiri di Hujan Kali Ini

Hari ini hujan turun lagi. Hujan turun dengan derasnya. Setelah sebelumnya langit tampak begitu pekat, akibat membendung uap air yang siap tumpah. Aku baru saja menyelesaikan jam kuliahku yang terakhir hari ini. Lantaran hujan dan aku tidak membawa payung, ku putuskan untuk mampir ke Caffe Taffione yang berada di seberang kampusku.
Setelah memesan Cappuccino Latte aku duduk di salah satu kursi yang berada dekat dengan kaca transparan dan menjadi pembatas antara cafe dan jalanan di luar yang basah. Sambil menunggu pesananku tiba, aku memperhatikan orang-orang di luar cafe. Meski hujan deras, banyak orang yang berkeliaran di luar sana. Ada yang berjalan cepat, ada yang berlari-larian padahal mereka sudah basah kuyub, dan ada pula yang sengaja berjalan dengan sangat lambat, seakan menikmati setiap tetes hujan yang turun.
Beberapa menit kemudian, pelayan menghampiri mejaku dan meletakkan cappuccino yang kupesan tadi. Aku mengangguk sambil mengucapkan terima kasih. Setelah pelayan itu pergi, aku mencicipi cappuccino yang mengeluarkan asap-asap halus.
“Rasanya tetap sama,” kataku di dalam hati.
Tiba-tiba aku merindukan sosok yang dulu menjadi temanku ke tempat ini, Ryan. Ryan adalah temanku sejak kami masih di bangku SMA. Dulu kami sering pergi ke cafe ini ketika turun hujan, duduk di tempat yang sama, memesan minuman yang sama, menghabiskan waktu bersama, bercerita sampai hujan reda, membahas apapun yang terlintas di pikiran kami, dan menertawakan apapun yang bisa kami tertawakan.
“Liat, deh tuh cewek. Kayaknya dia lagi ngambek sama pacarnya.” Kata Ryan sewaktu melihat pasangan yang berada di seberang cafe.
“Iya, ya. Liat muka cowoknya, udah kayak karyawan yang takut gajinya dipotong. Hahaha.”
“Tauk tuh, masa jadi cowok lembek banget gitu. Bikin malu kaum gue aja. Jadi cowok tuh yang tegas dong!” Katanya geram sendiri.
Aku tertawa mendengar ucapannya dan ekspresinya yang terlihat jengkel. “Biarin aja sih, tiap orang kan punya karakter masing-masing. Emang lo mau, semua cowok jadi sama kayak lo? Pasaran dong hahaha..”
“Yee enak aja, ntar gue gak kebagian cewek dong.” Candanya.
Aku hanya geleng-geleng kepala, tak habis pikir kenapa ada orang yang pedenya bisa over begini. Walau sebenarnya aku tak memungkiri fakta bahwa dia memang keren dan tampan. Semua orang iri denganku karena bisa menjadi sahabat cowok ganteng ini. Karena Ryan memang bukan tipe cowok yang suka tebar pesona dan dekat dengan banyak wanita. Sejauh ini, teman wanitanya cuma aku seorang. Ya, teman. Meski sebenarnya aku mengharapkan status kami lebih dari teman.
Sampai suatu saat ketika kami sedang mampir ke Caffe Taffione, dia bilang bahwa dia sedang menjalin hubungan dengan seorang wanita dari fakultas yang sama dengannya. Dan dia tidak ingin membuat wanita itu salah paham jika terus-terusan bertemu dan menghabiskan waktu denganku. Dia berjanji sesekali akan mengajakku jalan-jalan, tapi setelah pertemuan terakhir kami, dia tak pernah lagi menemuiku. Dia terlalu sibuk dengan kekasih barunya.

Dan disinilah aku sekarang, di Caffe Taffione. Sendirian. Mengenang. Merindukan. Dan menunggu hujan berhenti. Juga menunggu seseorang yang dulu terus bersamaku kembali.

Karya : Lidya Christin Silalahi
Sumber: http://martabakmietelor.blogspot.com/2013/11/sendiri-di-hujan-kali-ini.html